TAK ADA KATA PUTUS ASA DALAM KAMUS HIDUPKU
Oleh : Tri Ramidjo.
Upacara pembebasan TAPOL di pulau Buru itu berlangsung di lapangan kota Namlea Buru Utara pada tanggal 20 Desember 1977. Aku termasuk tapol yang dibebaskan pada pembebasan pertama waktu itu.
Aku tidak tahu berapa orang yang dibebaskan dan dengan kapal apa aku dan rombonganku itu diangkut ke Surabaya. Aku juga tak dapat mengenang berapa lama kami melayari lautan dari Namlea ke Surabaya. Tanggal berapa aku sampai di Jakarta di KODIM Jakarta Selatan Kebayoran pun aku tak ingat. Ya, sampai hari ini pun aku tak bisa mengingat kembali hari-hari dan tanggalnnya. Ya, biarlah tak apa. Aku hanya ingin mengingat dan mencatat apa yang terjadi pada hari-hari ketika aku sampai di Jakarta.
Keadaan jasmaniku memang tidak sehat. Aku mengidap penyakit paru-paru yang umumnya teman-teman tapol menyebutnya KP (koch patient ?) dan malaria yang sudah menahun. Tapi hatiku tetap tabah dan kukuat-kuatkan diriku untuk bisa bertemu kembali dengan keluargaku. Keinginan untuk segera bertemu keluarga inilah yang memberi semangat bertahan hidup terutama wajah ibuku yang mendekati usia 80 tahun dan kenyang penderitaan dalam hidupnya tapi tak pernah mengeluh, anakku perempuan yang waktu itu sudah berusia 16 tahun dan isteriku yang kuanggap wanita tercantik di dunia ini. Ya di dunia ini hanya ada dua wanita yang punya sifat keibuan yaitu ibuku dan isteriku.
Ibuku sejak muda mengikuti ayahku yang hidupnya sepenuhnya mengabdi bagi negeri tercinta ini sehingga pada waktu berada di tanah buangan Boven Digul menjadi orang yang paling miskin tapi tak pernah mengeluh. Ibuku di tahun 1940 hanya punya selembar kain dan selembar kebaya. Oom Sjahrir (Sutan Sjahrir yang pernah menjadi PM Republik Indonesia) yang hubungannya sangat dekat dengan keluarga kami, dari tempat pengasingtannya di Banda Neira mengirimkan pakaian-pakaian bekas yang katanya dari keluarga Dr. Tjipto Mangunkusumo yang belum pernah kami kenal secara dekat. Ya, lamunanku pada ibuku yang sangat kurindukan.
Kereta api yang kami naiki dari Surabaya berangkat pada sore hari dan sampai di stasiun Senen pada pagi keesokan harinya. Tapi tidak pagi sekali, sudah agak siang. Dengan memakai caping petani dan menenteng tas pemberian PANGKOKAMTIB ( maaf, aku tak tahu presis, pemberian tas, sepatu dan sarung itu dari mana, katanya dari PANGKOKAMTIB bapak yang baik hati pak Sudomo?) aku bersama rombongan naik truk dari stasiun Senin ke KODIM Jakarta Selatan Kebayoranbaru.
Di KODIM Jakarta Selatan rupanya sudah banyak ibu-ibu keluarga tapol yang menunggu untuk menjemput. Di antaranya ada mas Ari teman lamaku. Ya, dia teman lamaku yang sama-sama berjuang bertempur melawan kolonialis Belanda di th 1945. Bedanya hanya dia tergabung dalam TP Jawa Tengah sedang aku di TRI Kalbar. Dia belum merasakan pedihnya diterpa peluru sedang aku merasakan pedihnya peluru angrem dibokongku sebelah kiri. Aku pernah dimarahi oleh anak buahku karena salah menentukan arah mundur pasukan, sehingga dua hari tak makan hanya makan buah durian sampai mabuk durian. Aku geli mengingat ketololanku waktu itu.
Kukira mas Ari datang untuk menjemputku, tetapi rupanya tidak. Dia menjemput bung Subronto K.Atmodjo yang sama-sama musikus.
Kutanya mas Ari, “apakah isteriku datang menjemputku?”
Jawabnya “tunggu saja, nanti juga datang.”
Terrnyata sampai teman-teman yang terakhir sudah meninggalkan KODIM belum juga keluargaku datang menjemput.
Petugas di Kodim mengatakan, kalau tak ada yang menjemput akan dibawa ke RTC SALEMBA.
Akhirnya datang seorang ibu seorang nenek-nenek. Aku tahu ibu itu ibu Sapar yang puluhan tahun yang lalu pernah menjadi tetanggaku. Kutanya ibu itu akan menjemput siapa. Ibu itu mengatakan akan menjemput anaknya yang dikiranya ikut bebas dalam rombongan pertama itu.
Akhirnya ibu itu mengajakku pulang.
Di tengah perjalanan pulang ibu itu bercerita, bahwa isteriku sudah bersuami lagi dan telah mempunyai seorang anak laki-laki. Sekarang anak laki-laki itu sudah berumur 5 tahun.
Aku terdiam. Aku tak bisa berucap kata. Kemana aku harus menuju sekarang. Ke rumah kontrakan isteriku yang kini sudah berisuamikankan orang lain atau ke mana? Akhirnya kuputuskan untuk ke Pabrik Krupuk milik pak Giyanto yang juga kenalanku. Di sana banyak tempat untuk pekerja-pekerja pabrik krupuk itu.
Kebetulan hari itu pak Giyanto ada di rumah. Beliau menerimaku dengan ramah dan menceritakan tentang isteriku yang telah bersuami lagi dan tentang anakku. Kutanyakan bagaimana tentang ibuku?
Beliau menceritakan, rumah ibuku telah hancur dihancurkan oleh KAMI dan KAPI karena letaknya bersebelahan dengan gudang buku Yayasan Pembaruan – penerbit dan toko buku PKI. Dan kini ibuku tinggal di rumah famili ibuku
Biarlah, untuk sementara aku tak mau berfikir banyak. Kalau umurku masih panjang pasti aku bisa menemukan ibuku.
Pak Giyanto memberi saran agar aku tinggal tenang saja dulu di rumahnya. Mangan ora mangan waton kumpul katanya.
Tak lama setelah aku sampai di rumah pak Giyanto anakku datang. Pakaiannya separuh basah, katanya sedang mencuci pakaian dan mendengar aku pulang dia buru-buru datang.
Maaf, aku hentikan dulu mengetik. Aku tutup dulu pintu kamar. Tak kusadari aku menangs sendiri sesenggukan mengetik kenangan ini. Ya, aku benar-benar menangis. Sepintas berdiri di depanku ayahku Ramidjo yang tersenyum. Kowe nangis le? Mosok pejuang nangis. Aku sing adoh lor adoh kidul ora tau nangis. Teruske olehe ngetik. Songsong hari depan,
Aku tersentak dari rasa trenyuhku dan aku memang harus meneruskan ceritaku.
“Mana ibumu ?” tanyaku.
“Ibu nanti juga ke sini.” Katanya.
Kira-kira setengah jam aku berbincang-bincang dengan anakku. Dia sama sekali tidak menangis. Dia kelihatan tegar dan hatinya teguh. Aku senang melihat sikapnya. Dia benar-benar anakku dan cucu ayahku Ramidjo. Tidak mudah meneteskan air mata. Ya, aku sungguh merasa bangga waktu itu. Aku mengharapkan di kemudian hari nanti dia mau meneruskan cita-cita untuk membuat negeri ini negeri yang benar-benar gemah ripah loh jinawi. Hanya setengah jam aku bertemu dia dan dia segera pamit pulang untuk meneruskan pekerjaan rumahnya mencuci.
Aku berniat untuk berbaring di divan di sebelah meja makan. Tapi sebelum itu datang isteriku. Aku tidak mengatakan dia sebagai bekas isteriku sebab sampai detik ini pun aku belum pernah mencereikan dia walaupun waktu itu dia telah bersuamukan orang lain.
Isteriku menangis sesenggukan mukanya ditelungkupkan di lututku.
“Sudahlah”, kataku.
“Tak ada yang perlu disesalkan. Semua yang kita lakoni ini memang sudah garis hidup kita. Aku tidak menyalahkanmu yang kawin lagi dengan orang lain. Buat apa mesti ditangisi apa yang sudah lalu. Kalau bicara yang salah, akulah yang salah. Bertahun-tahun meninggalkan keluarga. Tidak memberi nafkah dan malahan membebani tugas memelihara dan mengasuh seorang anak. ‘Kan itu anak kita berdua dan yang seharusnya mengasuh dan membesarkan kita berdua. Tapi aku, tanpa pamit mengikuti polisi – e, ya kok mau-maunya digelandang polisi – padahal aku tidak mencuri, tidak berbuat kriminal.” Kataku.
Isteriku makin menangis. Tapi aku waktu itu tetap tegar. Tidak ada perasaan marah waktu itu, tapi rasa benciku kepada Suharto dedengkot orde baru itu makin mendelam dan bahkan rasa benci itu berubah menjadi mendendam.
Apakah sekarang ini, waktu mengetik ini aku masih mendendam Suharto? Jawabku tegas ‘tidak’. Aku tidak dendam dan tidak benci lagi. Rasa benci dan dendam kepada siapa pun sudah kutenggelamkan dalam-dalam ke dasar samudera perasaanku yang paling dalam melebihi dalamnya samudera mana pun.
Mengapa rasa benci dan dendam itu kutenggelamkan? Karena rasa benci dan dendam adalah bagaikan api dalam sekam yang akan membakar diri sendiri sehingga selalu merasa resah, gelisah dan tak ada rasa pasrah.
Isteriku akhirnya berhenti menangis. Kukatakan padanya soal hari depan kita nanti kita pikirkan. Aku belum bisa berfikir sekarang. Dan aku belum tahu apa yang harus kulakukan, sebab aku sekarang ini dalam keadaan sakit.
“Sudahlah.” Kataku kepada isteriku.
“Yang penting kamu mau menandatangani surat penerimaan kepulanganku. Soal yang lain nanti akan selesai dengan sendirinya. Allah maha mengetahui, dan Allah akan membimbing kita di jalan yang benar.” Kataku dengan keyakinan penuh.
Malam itu aku mulai tidur di rumah pak Giyanto. Aku tidur di ruang makan di divan yang terletak di sebelah meja makan. Kupasang kelambu yang biasa kupakai di Pulau Buru. Rupanya nyamuk Jakarta sama saja dengan nyamuk Buru. Gigitnya juga sama gatalnya hanya bedanya di Jakarta tidak ada nyamuk malaria. Aku bisa tidur nyenyak.
Beberapa hari kemudian kuketahui temanku dr. W yang sama-sama belajar di Jepang membuka praktek tidak jauh dari tempatku mondok. Sore itu aku ke kliniknya memeriksakan kesehatanku.
Akhirnya aku tetap berobat ke kliniknya.
Menurut dokter temanku itu, aku sulit disembuhkan kecuali ada mujizat lain. Aku pasrah. Kubeli kunyit, madu dan telur ayam. Setiap akan tidur kuminum air perasan kunyit dicampur kuning telur dan madu dan sedikit garam. Kutekuni jamu ini setiap akan tidur, dan dadaku selalu kugosok dengan reumason cream. Dada terasa hangat dan batuk-batuknya berkurang.
Sebulan telah berlalu dan aku merasa semakin bosan. Apa yang harus kukerjakan. Mencari pekerjaan? Aku ini bisa apa? Dan apa ada orang yang mau menerimaku bekerja dalam keadaan sakit?
Anakku datang. Dia mampir sepulangnya dari sekolah. Kutanya dia bagaimana pelajaran hari ini dan lain-lain yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah. Dia kelihatan senang mendapat perhatian tentang pelajarannya. Akhirnya kutanya dia : “ apakah batu asahan peninggalan simbah (ayahku maksudku) masih ada? Wungkal (batu asahan) itu ada di laci lemari paling bawah.” Kataku.
Dia menjawab : “ndak tahu.”
“Ya, coba cari wungkal itu. Wungkal itu wungkal halus dan kasar” Kalau ketemu tolong bawa kemari, ya”, pintaku.
Benar, keesokan harinya anakku datang membawa sebuah batu asahan (wungkal), Wungkal itu dibawa ayahku dari Australia sebelah wungkal kasar dan sebaliknya wungkal halus. Wungkal itu sudah lumutan.
Kutanya anakku “kenapa wungkal ini lumutan begini?”
Jawabnya “ya, karena lama dipakai untuk bandulan timba mengambil air di sumur.”
“Tak apa, masih bisa dipakai”, jawabku.
Wungkal itu kubresihkan. Kucari sebuah botol kecil kuisi minyak tanah bercampur minyak kelapa. Kucari lagi sobekan-sobekan baju kaos untuk lap. Nah, lengkap sudah. Kumasukkan semuanya ke dalam tas plastik merah.
Keesokan harinya mulailah aku dengan profesi baruku menjadi pengasah gunting dan pengasah pisau, berkeliling di jalan-jalan sekitar daerah Menteng Jakarta Pusat. Hasilnya? Lumayan. Aku bisa makan tanpa harus makan di tempat pondokanku walaupun ibu Giyanto yang baik hati itu selalu menyediakan makanan untukku. Kukatakan kepada beliau tak usah menyediakan makan lagi untukku karena biasanya aku makan di rumah teman. Dan kalau aku pulang belum makan aku akan ambil sendiri.
Tiga bulan sudah berlangsung sejak aku menjalankan profesiku. Seperti biasa aku meneriakkan “asah guntung, asah pisau” berkeliling di daerah gedongan “Menteng”. Di Jalan Pekalongan di dekat rumah pak Chaerul Saleh - menteri dalam kabinet Gotong Royong Bung Karno – aku dipanggil seseorang.
O, rupanya seorang pembantu rumah tangga dengan menggandeng anak perempuan kecil. Kelihatannya seperti anak Tionghwa.
Pembantu itu menunjukkan sebilah pisau berwarna putih perak berkilat.
“Pak, tolong asah pisau ini bisa gak?” tanyanya.
“O, ini pisau sashimi. Ini masih cukup tajam”. Kataku terus terang.
“Ya, pak masih tajam. Tapi ini gompal sedikit. Apa bisa gompalnya dihilangkan?” tanyanya.
“Baiklah, tapi agak lama untuk meratakannya.” Kataku.
“Ongkosnya berapa?” tanyanya.
“Terserah, berapa saja. Saya tidak ngarani soal ongkos. Berapa sajalah, bisa baik atau tidak.” Jawabku.
Mulailah aku mengasah dengan wungkal bagian yang kasar untuk meratakan gompalnya. Setelah betul-betul rata kuasah lagi dengan wungkal bagian halus. Rata sudah dan kucoba untuk mencukur bulu kakiku. Sungguh, tajam sekali pisau itu. Aku sendiripun merasa puas melihat ketajaman pisau itu.
Tengah pembantu itu memberikan uang 500 rupiah sebuah mobil sedan TOYOTA CROWN berhenti. Seorang nyonya keluar dari mobil dan langsung menhampiri. Nyonya itu melihat pisaunya dan lalu mencobanya.
“Kore wa yoku kireru. Yokatta.” (ini tajam sekali. Syukurlah). Celotehnya.
“Sashimi wo kiru tame desu, ne?” (untuk memotong sashimi, bukan?) kataku.
“Hai, sashimi no tame desu. Nihon go dekimasu, ne.” (ya, untuk sashimi. Bisa bahasa Jepang, ya).
“Hai, dekimasu.” (ya, bisa) jawabku.
Kemudian terjadilah dialog macam-macam dengan nyonya itu. Dia Tanya tentang harga daging dan lain-lain. Di tahun 1979 waktu itu belum ada super market seperti sekarang. Biasanya orang asing membeli ikan atau daging di toko Kem Cik atau tempat-tempat belanja tertentu.
Akhirnya nyonya itu bertanya “Doko de Nihongo wo benkyou shita ka? (di mana anda belajar nahasa Jepang).
“Nihon no Waseda de benkyou shimashita”. ( di Waseda univ. di Jepang) jawabku.
“Waseda………?” nyonya itu bergumam lalu masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian nyonya itu keluar bersama suaminya. Suaminya berkata “douzo, ohairi kudasai” –silakan masuk.
Saya merasa agak malu dengan cara tuan itu mempersilakan masuk. Caranya sangat sopan sedang saya hanya seorang pengasah gunting.
Aku duduk di kursi tamu. Kemudian tuan itu memperkenalkan diri dan memberikan kartu namanya.
Dalam tulisan ini sengaja saya tidak mau menyebutkan nama tuan itu karena waktu beliau meninggakan Indonesia setahun kemudian beliau tidak mau memperkenalkan saya kepada orang Jepang lain dan berarti bahwa beliau tidak mau dikenal namanya sebagai orang yang pernah mengenal saya.
Tuan itu menanyakan mengapa saya sebagai orang yang pernah belajar di Waseda University, universitas yang sangat terkenal di Jepang dan untuk ujian masuknya sangat sulit, bekerja sebagai pengasah gunting dan pisau? Apakah pekerjaan itu dilakukan untuk coverjob sebagai intelejen? Apakah dari BAKIN?
Saya jawab, bahwa saya adalah sampah. Sampah saja masih ada nilainya sebab sampah masih bisa didaur ulang dan dijadikan pupuk. Tetapi orang-orang seperti saya adalah sampah mati, sampah yang sangat tidak berguna. Ibarat penyakit, penyakut kusta atau lepra yang siapa pun tak akan mendekat. Dan orang-orang seperti saya ini biasa dijadikan kambing hitam.
Semula tuan itu tidak juga bisa mengertri. Akhirnya saya berterus terang, bahwa saya baru tiga bulan yang lalu bebas sebagai tahanan politik dari Pulau Buru.
Mendengar keteranganku, bahwa aku adalah tapol yang dibebaskan dari Pulau Buru tuan itu bangkit berdiri. Kemudian dia membawa foto-foto dokumentasi pembebasan tapol Buru. Dia menunjukkkan sebuah foto dan menanyakan apakah aku kenal foto itu. Aku jawab, bahwa itu adalah foto ahli hukum terkenal Profesor Doktor Suprapto SH, jawabku. Berturut-turut dia menunjukkan foto Subronto K.Atmodjo, Ferdinan Runturambi dll. Semuanya memang kukenal karena kebetulan sama-sama satu unit di Unit XV Indrapura. Dan kebetulan ada foto saya sendiri yang sedang memanggul bungkusan tikar dan mengenakan caping bambu yang biasa dipakai waktu mencangkul.
“Soo ka, soo ka. Kawai-soo-da. Komatta-ne.” ( begitukah, susah, ya). Gumamnya. Kemudia dia berkata.
“Sayang, saya sudah punya asisten. Tapi begini saja. Bisa Bantu saya tiga hari dalam seminggu? Kalau mau silakan besok datang ke sini.”
Begitulah ceritanya.
Keesokan harinya aku mulai bekerja. Semula aku hanya bekerja tiga kali seminggu yaitu hari Senin, Rabu dan Jum’at. Tetapi kemudian aku bekerja penuh dalam seminggu dan hari Sabtu dan Minggu libur.
Tuan tempat aku bekerja itu sungguh berperi kemanusiaan.
Melihat aku dalam keadaan sakit dia berusaha membelikan obat-obatan dari Jepang dan memberi vitamin yang saya anggap sangat baik. Nama vitamin itu “Popon S” dan ternyata vitamin yang berisi B1, B6, B12, mineral dan unsur-unsur lainnya itu menambah daya tahan tubuh yang luar biasa.
Selain memberi vitamin berbentuk tablet, tuan itu hampir setiap makan siang mengajakku ke restoran Jepang dan aku diharuskan makan banyak makanan-makanan bergizi. Setiap pergi tugas ke luar Jakarta, ke Bali, Sumatra dan tempat-tempat lainnya aku selalu diajak serta. Kegemaranku memotret juga tersalur dan aku memang dulunya terbiasa memegang kamera film. Ketika itu film masih hitam putih dan kameranya juga cukup berat tidak seperti sekarang ini semuanya serba jadi. Tapi untunglah aku mampu dan bisa mengerjakannya, dan aku pernah ikut membuat film perjalanan Marcopolo dari ujung utara Sumatra (daerah Aceh) sampai ke Sumatra Selatan Tanjung Karang – Lampung dan sekitarnya. Pernah di daerah Sumatra Barat masuk ke hutan untuk mencari tempat tumbuhnya bunga Raflessa. Seorang di antara orang-orang Jepang yang ikut rombongan kami memotret dan mengeluarkan rol-rol film dari kotaknya. Kotak-kotak dan kertas-kertas bekas film yang sudah dipakai itu dimasukkan kembali ke dalam tas dan tidak dibuang begitu saja padahal berada di dalam hutan. Sampah-sampah kotak dan kertas-kertas itu baru dibuang di kotak sampah di hotel. Begitu hati-hatinya orang-orang Jepang itu menjaga kebersihan lingkungan.
Aku mulai punya banyak kenalan orang-orang Jepang dan mulailah aku mencari tambahan penghasilan dengan mengajar bahasa Indonesia kepada orang-orang Jepang.
Kehidupanku mulai berubah. Aku bertambah sehat. Prenghasilanku lumayan dan akhirnya aku bisa mengontrak sebuah rumah untuk 2 tahun. Aku berhasil mengumpulkan keluargaku yang berserakan.
Tinggallah kami sekeluarga, ibuku yang sudah 80 tahun, isteriku, anakku (perempuan) yang baru masuk SMA dan anakku laki-laki berumur 5 tahun dan aku. Aku beruntung mendapat seorang anak laki-laki dari isteriku yang sempat bersuamikan orang lain. Jika tidak anakku tentu hanya seorang sebab aku tidak akan mampu lagi untuk mendapatkan seorang anak pun karena akibat penyiksaan dengan stroom listrik ketika diinterogasi membuat diriku i m p o t e n yang hingga kini tak tersembuhkan.
Apa yang harus kuucapkan? Sebagai seorang muslim aku hanya bisa berucap Subhanallah. Alhamdulillahirabbilalamin.
Juga setiap selesai shalat aku selalu memanjatkan do’a agar pak Harto panjang umur dan sebagai penyebab dari semua derita yang kualami dan dialami oleh korban-korban peristiwa G30S, mau kiranya menggunakan sisa hidupnya untuk bertaubat, bukan hanya bertaubat kehadirat Allah tapi mengakui dosa-dosanya kepada Rakyat dan negeri tercinta ini dan mengembalikan harta-harta yang sudah diambilnya. Maaf, semula saya ingin memakai kata “dirampasnya” atau “dirampoknya” tapi kupikir kata-kata itu kasar dan tidak sopan dan tidak lazim dipakai di zaman Bung Karno karena melanggar kode etik jurnalistik maka kuganti dengan kata “diambilnya”.
Semoga saja pengalaman getir-pahit ini tidak terulang kembali bagi generasi kini dan selanjutnya.
Stop ! - bahasa Jepangnya TOMARE ! - segala bentuk pelanggaran HAM.
Sekian.
Tangerang, Senin Pahing 06 November 2006.
-------------------------------------------------------
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Subhanallah, tulisan yang sangat baik dan pelajaran berharga bagi saya pak de.
BalasHapus