CERDIG 012807
ANJING KAMI NAMANYA TUPON.
Oleh : Tri Ramidjo
Waktu itu aku masih tiggal di kampung C. Rumah yang kami tempati itu adalah bekas rumah oom Haji Gazali yang besluit pengasingannya telah dicabut dan oom Haji Gazali itu pulang ke Jawa.
Rumah itu cukup besar ada ruang depan yang cukup luas dimana terletak amben tidur tempat tidur ayahku dan mas No kakakku tertua dan ada sebuah meja makan terbuat dari kayu jati peninggalan oom Suwito yang juga telah kembali ke Jawa yang cukup besar dan cukup untuk duduk enam orang dewasa makan bersama. Di atas meja itu tergantung sebuah lampu ‘aladin atau kami menamakannya lampu wasiat’ Ya, lampu itu benar-benar lampu wasiat karena bahan bakarnnya minyak tanah dan pemakaian minyak tanahnya sangat hemat sedang nyalanya cukup terang seperti lampu listrik 40 watt.
Di meja itulah biasanya kami di malam hari duduk bersama sekeliling meja masing-masing membuka buku pelajaran dan belajar.
Malam itu kakaku tertua mas No sedang menggambar mencontoh foto di Koran gambarnya presiden Rosevelt di atas kertas gambar dengan memakai konte (semacam pinsil yang warnanya hitam), kakakku yu Ni membaca ilmu bumi pelajaran hari itu tanpa bersuara, adikku Rokhmah melihat-lihat gambar di buku bacaan bahasa Inggris yang penuh gambar warna warni dan aku sendiri menyelesaikan pelajaran hitungan home work atau PR.
Ayahku tiduran di atas amben sambil mengaji tanpa melihat Alqur’an dengan suara sedang tidak mengganggu kami yang sedang belajar sedang ibuku dengan lampu teplok menjahit dengan tangan baju rok kakakku Darsini. Baju rok itu dibuat ibuku dari kain poplin putih di lehernya diberi sulaman dengan benang berwarna biru. Ibuku memang pandai menjahit tapi karena kami tidak mempunyai mesin jahit, semua baju anak-anaknya dijahit dengan tangan.
“Lihat, anak perempuan itu terseret gelombang ketengah laut. Dan lihat si Bruno anjing itu terjun ke laut menolong anak perempuan itu.” Teriak Rokhmah adikku yang sejak tadi melihat gambar-gambar di buku. Rokhmah belum bersekolah dan belum pandai membaca. Umurnya baru 4 tahun. Tapi dia sering mendengarkan aku membaca dan hafal cerita On The beach gambar yang di lihatnya itu.
“Bagus, bagus Bruno memang anjing pintar. Dia bisa menolong anak perempuan itu.” Katanya lagi.
Rokhmah bangkit dari duduknya. Dia mendekati ayahku yang tiduran di amben.
“Pak” katanya.
“Bagaimana kalau kita memelihara anjing. Anjing itu bisa diajari macam-macam.
Kita punya kucing si Telon, burung kakak tua si Yakob dan kasuwari si Riri. Telon, Yakob dan Riri sangat rukun tidak cakar-cakaran. Kita minta saja anak anjing oom Jamaludin seekor.” Celetuk adikku.
“Jangan, anjing itu najis. Kita tidak boleh pelihara anjing.” Kata ibuku.
“Tapi embah Brahim yang dari Banten dan kiyahi itu pelihara anjing banyak, Sering dimandikan dan diajak berburu celeng. Enam ekor anjingnya. Kalau najis tentu mbah Brahim tidak akan memelihara anjing. Yang penting kata mbah Brahim, jangan boleh menjilat karena lidahnya najis. Itu pun kalau anjing itu makannya yang jorok-jorok, tapi anjing mbah Brahim diberi makan sagu dan ikan kadang-kadang nasi lebihan tidak pernah makan kotoran.” Celetuk adikku Rokhmah.
“Ya, ya. Besok pulang dari rumah sakit antri pil, kita mampir ke rumah oom Jamal. Kita minta satu ekor anjingnya.” Kata ayahku.
Mendengar kata ayahku adikku merasa senang dan lalu merebahkan diri de dekat ayahku.
“Pak, cerita dong.” Pintanya.
“Tunggu masmu Tri menyelesesaikan PR nya. Nanti bapak cerita.”
“Cerita apa pak” Tanya adikku.
“Cerita Djoko Wali Darmo, cerita anak orang miskin, berhati jujur dan selalu berbuat baik untuk siapa saja bukan hanya kepada sesama manusia, tapi kepada semua makhluk hidup.” Kata ayahku.
Aku cepat-cepat menyelesaikan hitunganku dan setelah dikoreksi mas No dan tak ada yang salah kumasukkan semua buku-buku untuk ke sekolah besok dan aku segera menyusul naik ke amben tempat tidur bapak.
Mulailah ayahku bercerita :
“Di suatu dusun ada seorang ibu yang sangat miskin. Kerjanya mencari daun di hutan dan daun itu dibawanya ke pasar untuk dijual. Ibu itu mempunyai seorang anak laki-laki namanya Djoko Wali Darmo. Orang menyebut ibu itu dengan panggilan bu Wali Darmo.
Djoko Wali Darmo tidak bersekolah tapi rajin belajar sendiri dengan ibunya. Dia belajar huruf honocoroko, belajar nembang dandang-gulo, sinom dan juga belajar cerita-cerita wayang.
Kalau ada pagelaran wayang kulit, Djoko Wali Darmo pasti pergi menonton semalam suntuk dan dia sangat senang pada lakon-lakon wayang Pandowo yang walaupun di kuyo-kuyo selalu sabar dan bertekat untuk menang. Dan benar di akhir perang baratayudha Pandowo menang bisa menghancurkan Ngastina yang selalu bertindak angkara murka.
Setelah Djoko Wali Darmo beranjak dewasa dia ingin pergi ke kota kerajaan dan ingin mengabdi kepada raja.
Ibunya mengijinkannya dan membekalinya sebilah keris dan sebungkus nasi tiwul. Sebelum berangkat dia sungkem kepada ibunya dan ibunya sambil mengelus-elus kepala anaknya berkata : “berangkatlah ngger, satu hal yang harus kau pegang teguh adalah kejujuran. Jangan sekali-kali menyia-nyiakan orang lain. Jangan menggurui orang lain dan dengar bak-baik perkataan orang lain. Segala kata-kata yang baik yang patut ditiru, teladanilah tapi yang tidak baik dan menyesatkan jauhilah. Di dunia ini penuh setan dan setan selalu mengintai celah-celah hati kita untuk masuk ke dalamnya dan mengajak kita ke jalan yang sesat. Setan biasanya selalu berbentuk manusia dan karena itu jangan salah memilih teman.” Begitulah bermacam-macam nasehat ibu Wali Darmo berpesan kepada anaknya.
Maka berangkatlah Djoko Wali Darmo.
Dia berjalan melewati jalan hutan, jalan setapak. Tengah hari dia merasa capek dan duduklah dia beristirahat sambil membuka bekal makanannya. Baru saja dia akan menyuap nasi tiwulnya (nasi tiwul adalah nasi yang dibuat dari tepung gaplek singkong) terdengar suara orang memanggil namanya. “Djoko, Djoko, tolonglah aku. Ekorku terjepit, tolong lepaskan,” teriak suara itu.
Djoko Wali Darmo menoleh kekiri dan ke kanan tapi dia tidak menjumpai siapa pun. Dia melihat ke atas ke dahan-dahan yang rimbun daunnya. Terlihatlah olehnya seekor kera meringis-ringis kesakitan. “Tolong aku Djoko, ekorku terjepit.”
Dengan trengginas Djoko menaiki pohon itu. Ekor monyet yang terjepit itu dilpaskannya dan sambil mengelus-elus kepala monyet itu dia berkata. “Hati-hati, jangan sampai terjepit lagi ya.” Ujarnya.
Setelah selesai makan Djoko Wali Darmo meneruskan perjalanannya. Baru berjalan beberapa langkah terdengar suara orang memanggilnya.
“Mas Djoko, mas Djoko tunggu. Aku ikut kamu.” Kata suara itu.
Djoko Wali Darmo berhenti dan menoleh ke belakang.
Seorang pemuda tampan dengan memakai iket (ikat kepala seperti blankon yang biasa dipakai oleh orang Jawa) berlari-lari kecil menyusulnya.
“Ki sanak ini siapa dan untuk apa menyusulku?” Tanya Djoko W.D.
“Namaku Djoyo Palwogo. Aku adalah kera yang tadi mas Djoko tolong. Karena aku sudah ditolong aku akan ngawulo pada mas Djoko. Aku akan menemani ke mana saja mas Djoko pergi. Dalam keadaan susah dan senang aku akan tetap menjadi teman dan aku tidak akan ingkar janji.” Kata Djoyo Palwogo yang tidak lain adalah si monyet yang terjepit ekornya.
Djoko Wali Darmo mlanjutkan perjalanannya bersama Djoyo Palwogo. Tak lama kemudian sampailah mereka di pinggir sungai. Air sungai itu sangat jernih. Mereka berdua minum air sungai itu sepuas-puasnya. Di tepi sungai itu terlihat ada walesan pancing dan rupanya walesan itu meliuk-liuk karena umpannya ditarik oleh seekor ikan yang terkena pancing. Djoko Wali Darmo segera menarik walesan itu dan meggelepar-geleparlah seekor ikan yang cukup besar. Anehnya ikan yang terkena pancing itu pandai berkata-kata.
“Mas Djoko Wali Darmo” kata ikan itu.
“Lepaskanlah aku, karena aku kurang hati-hati aku telah memakan umpan di pancing itu. Tolonglah, budi baik mas Djoko pasti kubalas di kemudian hari nanti.” Katanya lagi.
Djoko Wali Darmo melepaskan ikan itu sambil berkata. “Nah, berenanglah dan hati-hati jangan sampai terkena pancing lagi.”
Sambil berenang gembira ikan itu mengucapkan terima kasih.
“Ceritanya sampai di sini dulu ya, besok malam disambung”, kata ayahku.
“Teruskan pak. Kan ikan itu nanti menjelma menjadi manusia ‘kan. Dan mengikuti perjalanan Djoko Wali Darmo. Pasti dia jadi sahabat yang setia” Celetuk adikku Rokhmah.
“Ya, betul , tapi besok diteruskan. Masmu Tri sudah ngantuk dan besok bangunnya kesiangan. Nah pindah ke amben kamar, ya. Jangan lupa baca doa sebelum tidur. Sudah sikat gigi belum. Sikat gigi dulu sebelum tidur.” Kata ayahku.
Aku turun dari amben. Kuambil sikat gigi dan gelas berisi air lalu keluar ke halaman depan. Aku takut keluar sendirian. Kuminta kakakku mas No menemani. Di langit banyak bintang gemerlapan. Nyamuk menginging di telinga. Aku cepat-cepat menggosok gigi. Jalan raya yang membujur dari arah barat berawal dari rumah sakit Wilhelmina Zieken Huis ke timur ke kampung A yang ada di depan rumah kami terlihat gelap tak ada cahya sedikit pun, Di kejauhan di arah timur lampu rumah panggung Mbah Kusen masih menyala. Biasanya dari arah rumah Mbah Kusen terdengar suara biola yang digesek oleh oom Suradi yang tinggal bersama mbah Kusen.
Aku segera masuk rumah menutup pintu. Ayahku masih berbaring di amben dan mengaji. Aku segera naik ke amben di kamar tidur bersama ibuku, mbakyuku Darsini dan adikku Rokhmah, segera membaca doa lalu tidur sampai pagi.
Antri minum pil kinine sore itu terasa lama sekali. Oom A.J.Patty (Alexander Jacob Patty – siapa saja yang pernah pergi ke Bandung tentu pernah melihat jalan raya di Bandung yang memakai nama oom Patty tersebut. Beliau adalah PKI – Perintis Kemerdekaan Indonesia berasal dari Ambon.
Oom Patty memanggil nama-nama menurut abjad dari A sampai Z. Akhirnya terdengar juga panggilan, Sardjono…kemudian terdengar lagi Soetaslekan…. dan kemudian Soeromidjojo, nama ayahku dipanggil. Segera kami sekeluarga antri menerima pil kinine, dewasa menerima tiga butiur pil dan anak-anak menerima dua butir pil kinine buatan Bandung ( pil BK – Bandoengse Kinine Fabrik) dan pil itu harus kami telan di situ disaksikan oom Patty – tidak boleh dibawa pulang. Minum pil kinine tiap sore adalah keharusan untuk mencegah terkena penyakit malaria. Walaupun telah dicegah demikian rupa, karena Tanah Merah – Digul memang penuh dengan rawa-rawa sarang nyamuk malaria sukar menghindar dari penyakit malaria dan aku sendiri pun sejak kecil menjadi langgananan penyakit malaria dari malaria tropika, tertiana, hamitten hanya untungnya belum terkena malia hitam yang air seninya menjadi kehitam-hitaman dan malaria kuning yang sekujur tubuh sampai ke kuku dan mata menjadi kekuning-kuningan.
Selesai antri minum pil kami menyusuri jalan pulang menuju ke arah timur. Kami melewati sekolah Standard School (aku tidak sekolah di situ karena ayahku masih natura dan belum tunduk kepada gubernemen), melewati rumah oom Patty, melewati lapangan tennis dan sampai di perapatan dekat toko Tantui di dekat situ terletak rumah oom Jamal.
Setelah ayahku berbincang-bincang dengan oom Djamal ayahku mendekati anak-anak anjing yang sedang menetek induknya. Induk anjing itu menggeram tapi kemudian dielus-elus oom Djamal.
Ayahku memilih seekor anjing jantan yang terkecil warnanya belang hitam putih lalu dimasukkan ke dalam kardus. Berjalanlah kami pulang ke rumah membawa anak anjing itu. Sampai di rumah segera anak anjing itu diberi makan nasi dengan kuah ikan kemudian di masukkan ke dalam kandang yang sudah disediakan ayah dilengkapi dengan bekas karung beras sebagai kasur tempat tidurnya.
Magrib segera tiba dan setelah shalat magrib bersama ayahku di amben besar tempat tidur ayahku, kami mengamini do’a yang dibaca ayah kami.
Karena hari itu hari Sabtu malam minggu, sesudah makan malam kami tidak belajar. Sesudah shalat Isa ayahku meneruskan ceritanya semalam.
“Rokhmah, masih ingat tidak sampai di mana ceritanya tadi malam?” Tanya ayahku.
“Ikan itu menjelma menjadi manusia dan menjadi teman seperjalanan Djoko Wali Darmo, ‘kan?” jawab adikku Rakhmah.
“Ya, betul Jadi sekarang berapa orang teman Djoko Wali Darmo.?” Tanya ayahku.
“Mereka berempat pak.” Jawab adikku.
“Bertiga, kataku. Djoko Wali Darmo, Djoyo Palwogo si monyet itu dan Tirto Taruno si ikan itu.” Kataku.
“Tidak, mereka berempat” kata addiku ngotot.
“Siapa lagi yang satu” tanyaku.
“Tentu saja Allah juga ikut menyertai mereka”, jawab adikku.
“Benar, dik Rokhmah benar. Allah selalu menyertai kita dan tidak boleh kita lupakan.” Kataku.
“Baiklah” kata ayahku.
“Mereka masih berjalan di jalan setapak di tengah hutan. Terdengar lagi suara memelas minta tolong. Mereka bertiga melihat ke kiri kanan tapi tak ada sesuatu yang kelihatan. Di ranting kayu kecil ada sebuah sarang labah-labah yang besar. Seeokor labah-labah besar hitam merayap mendekti mangsanya. Siapa mangsanya? Seekor capung merah yang terjerat sarang labah-labah itu. Dengan tangkas Djoko Wali Darmo menangkap capung merah itu dan melepaskan benang-benang laba-laba yang menjeratnya lalu melepaskan capung itu ke angkasa. Capung itu terbang tinggi sambil berucap terima kasih.
Seperti halnya dengan monyet dan ikan yang menjelma menjadi manusia begitu juga capung merah tadi pun menjelma menjadi Abrit Atmodjo dan menyertai perjalanan Djoko Wali Darmo.
Djoko Wali Darmo, Djoyo Palwogo, Tirto Taruno dan Abrit Atmodjo akhirnya sampai di pinggir kota.
Penduduk dusun sedang ramai membicarakan tentang adanya sayembara di kota raja. Raja kerajaan itu ingin memilih seorang menantu yang betul-betul gagah dan tangguh.
Sayembara itu berbunyi :
Pertama si calon menantu harus bisa memanjat pohon aren dan mengambil buahnya tapi memanjatnya harus nyungsang (kepalanya lebih dahulu), jadi memanjat terbalik.
Kedua si calon harus bisa mengambil golekan kencana (boneka emas) yang jatuh tenggelam di kolam terdalam yang ada di keputren.
Ketiga si calon harus bisa memenangkan pertarungan dengan harimau ganas yang sudah sebulan tidak diberi makan, dan
Kelima si calon harus bisa memilih dengan tepat, yang mana sebenarnya putri raja yang sebenarnya di antara 20 orang putri yang berpakaian sama dalam satu barisan.
Djoyo Palwogo membujuki Djoko Wali Darmo agar mengikuti sayembara itu. Siapa tahu nantinya menang dan berhasil mempersunting putri raja dan karena raja itu anaknya hanya seorang putri, di kemudian hari pasti takhta kerajaan akan diserahkan kepada putrinya atau menantunya.
“Aku tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Memanjat pohon kelapa saja aku tak bisa apalagi memanjat pohon aren yang penuh duri dan memanjatnya nyungsang lagi, mana mungkin. Menyelam kolam yang dalam, bertarung dengan harimau, bisa-bisa aku hanya pulang nama. Tidak, tidak aku tidak berani.” Kata Djoko Wali Darmo.
“Kau lupa Djoko, Kau punya keris pusaka ayahmu dan keris itu bukan barang mainan. Itu keris yang selalu dipakai ayahmu bertempur di medan perang melawan angkara murka. Ayahmu dulunya adalah panglima perang kerajaan ini. Aku adalah pengikut setia ayahmu.” Kata Djoyo Palwogo.
Djoko Wali Darmo terkejut. Dia lalu sujud sungkem kepada Djoyo Palwogo.
“Maafkan aku paman, aku tidak tahu kalau paman adalah penderek ayahku. Aku sendiri tidak tahu siapa ayahku. Kata simbok, ayahku sudah meninggal sejak aku masih bayi abang.”
“Baiklah, ikuti saja sayembara itu. Nanti semua paman yang atur.” Kata Djoyo Palwogo.
Hari yang dinanti-nantikan yaitu hari dimulainya sayermbara pun tiba. Singkat cerita dengan mudah sayembara pertama menaiki pohon aren nyungsang dapat dimenangkan berkat Djoyo Palwogo yang aslinya adalah monyet yang memang pintar memanjat.
Tibalah sayembara yang kedua yaitu menyelam untuk menemukan golekan kencana atau boneka emas. Djoko Wali Darmo diwakili sahabatnya yaitu Tirto Taruno.
Dia menyelam dalam sekali akhirnya bertemulah dia dengan putri ikan lodan yang tengah bermain-main degangan golek kencana.
Tirto Taruno menghampiri ikan lodan itu dan berkata : “Sang Putri, apakah anda putrinya raja ikan lodan? Sedang bermain apakah sang putri?”
Putri ikan lodan menjawab. “Ayahku kemarin menemukan golek kencana ini. Lihat paman, golek kencana ini sangat indah dan berkilat-kilat. Aku senang bermain dengn golekan ini. Lihat paman, alangkah indahnya. Benar-benar aku beruntung mendapatkan golekan ini”.
Tirto Taruno mendekatkan diri dan melihat golekan kencana itu dan berkata :.
“Ya betul. Golekan kencana ini memang sangat indah. Tapi sayang golekan ini adalah milik putri raja atas angin yang terjatuh di kolam ini. Aku diutus oleh raja atas angin untuk menemukan golekan ini. Apakah sang putri mau mengembalikannya?”
Putri ikan lodan menjawab : “Tentu saja paman. Kalau golekan ini memang milik orang lain aku tentu tidak berhak memikikinya dan aku harus mengembalikannya. Bukankah memiliki kepunyaan orang lain sama halnya dengan mencuri. Sebagai seorang putri tentu saja aku tidak mau menjadi pencuri. Paman , mari kita ke istana. Kita minta izin dulu kepada ayahku untuk mengembalikan golek kencana ini kepada pemiliknya.”
Tirto Taruno dan putri ikan lodan itu segera pergi ke istana bawah air menghadap sang Raja Ikan Lodan.
Sang Raja Ikan Lodan sangat gembira kedatangan tamu jauh yang tidak lain adalah sahabatnya.
Berceritalah Tirto Taruno tentang maksud kedatangannya di istana bawah air. Radja Ikan Lodan bertanya kepada putrinya “Bolehkah boneka Kencana itu dikembalikan kepada pemiliknya?”
“Tentu saja boleh ayah. Walaupun kita bangsa ikan bukan bangsa manusia kita juga punya tata cara dan sopan santun orang bilang siapa saja yang tidak tahu unggah-ungguh dan sopan santun sering dikatakan “tidak jawani” atau bahasa belandanya onbeschaafd kata guruku ikan salem yang dari Eropa itu. Jadi dengan senang hati golekan kencana itu kuserahkan kembali kepada pemiliknya.”
Tirto Taruno lalu pamitan dan dengan membawa golekan kencana kembali menemui Djoko Wali Darmo.
Sang putri anak raja atas angin senang sekali menerima kembali boneka kencananya dan berjanji suatu waktu nanti akan mengundang putri anak raja ikan lodan ke istananya. Putri anak raja atas angin sangat kagum bahwa putrid anak raja ikan lodan itu ternyata sangat berbudi baik melebihi budi pekerti manusia biasa yang sering merampas milik orang lain dan bahkan sering manusia biasa bertindak sewenang-wenang dengan atas nama kekuasaan.
Sekarang sampailah pada sayembara ketiga yaitu Djoko Wali Darmo harus bertarung dengan harimau ganas yang sudah berminggu-minggu tidak diberi makanan. Djoko Wali Darmo duduk bersila di tengah gelangggang dan tidak lama kemudian dibukalah kerangkeng harimau yang ada di gelanggang itu.
Harimau ganas itu melompat keluar sambil mengaum. Raja dan permaisurinya beserta putrinya tergetar hatinya merasa kasihan kalau Djoko Wali Darmo yang tampan dan kelihatan welas asih itu sampai dimangsa oleh harimau ganas itu. Tetapi apakah yang terjadi?
Sungguh memnakjubkan. Harimau ganas itu berlari mendekati Djoko Wali Darmo dan bersujud. Djoko Wali Darmo mengelus-elus kepala harimau itu dan berkata. “Terima kasih paman, paman tidak memangsaku walaupun aku tahu paman sangat lapar.”
Harimau itu menjawab : “Ngger anakku Djoko, melihat keris yang terselip dipinggangmu, aku tahu kau adalah anak sahabatku. Ayahmu adalah sahabatku sehidup-semati. Tak usah banyak cerita dulu, naiklah ke punggungku.”
Djoko Wali Darmo segera naik ke punggung harimau itu dan harimau itu pun berjalan ke arah tempat raja duduk. Semua orang yang menonton sayembara itu itu berlarian ketakutanm tapi Djoko Wali Darmo berseru. “Duduklah di tepat masing-masing dan tak usah takut.”
Djoko Wali Darmo turun dari punggung harimau itu dan melakukan sembah kepada raja.
Raja sangat kagum melihat kesaktian Djoko Wali Darmo dan memuji-mujinya.
Keesokan harinya tibalah saatnya sayembara terakhir yaitu pemilihan putri raja yang sebenarnya. Sang putri sendiri merasa kuwatir kalau-kalau Djoko Wali Darmo salah pilih dan bukan dirinya yang teriplih sebab putri raja itu sudah terlanjur jatuh cinta kepada Djoko Wali Darmo yang tampan dan sakti itu.
Sebelum sayembara dimulai Djoyo Palwogo telah membisiki Djoko Wali Darmo, bahwa putri raja yang asli adalah putri yang di punggungnya dihinggapi capung atau kinjeng merah.
Di halaman istana telah berbaris duapuluh orang putri-putri cantik yang akan dipilih disaksikan oleh warga istana raja dan para penduduk. Orang-orang dari desa-desa yang jauh memerlkan hadir untuk menyaksikan sayembara itu.
Djoko Wali Darmo dengan menunggang harimau memasuki halaman istana. Dia turun dari punggung harimau berjalan ke tempat duduk raja dan permaisuri.
Setelah menyembah dan mengucapkan beberapa patah kata minta izin dan minta do’a restu mulailah Djoko Wali Darmo berjalan di depan putrid-puiri yang berbaris itu. Dia melewati satu persatu putri-putri itu dari sebelah depan dan sampai putri yang terakhir tak seorang pun yang dipilihnya. Putri-putri yang berbaris itu berdebar-debar jantungnya dan semuanya harap-harap cemas untuk dipilih Djoko Wali Darmo sebagai pasangannya, tapi alangkah kecewa mereka karena tak seorang pun yang dipilih.
Sekarang Djoko Wali Darmo berjalan lagi dari arah belakang putri-putri itu. Sesampainya di tengah barisan Djoko Wali Darmo berhenti dan menarik dan menggandeng putri yang berdiri di barisan nomor tujuh.
Benar putri itu adalah yang tercantik di antara keduapuluh putri-putri yang berbaris itu.
Putri itu di ajaknya untuk menghadap dan menyembah raja. Raja dan permaisuri merasa sangat bahagia karena ternyata Djoko Wali Darmo tidak salah pilih.
Sebelum pernikahan diresmikan Djoko Wali Darmo meminta izin kepada raja untuk menjemput ibunya yang jauh di dusun seberang hutan. Dengan dinaikkajn ke atas tandu yang biasa dipakai putri-putri dibawalah ibu Djoko Wali Darmo ke istana.
Tentu saja ibu Djoko Wali Darmo pakaiannya digabnti dengan pakaian bangsawan yang indah lengkap dengan perhiaannya.
Permaisuri raja sangat terkejut dan merasa sangat gembira karena ibu Djoko Wali Darmo ternyata adalah masih saudara sepupunya sendiri yang telah lama hiang.
Tujuh hari tujuh malam diadakan perayaan pernikahan Djoko Wali Darmo dan seluruh rakyat negeri itu turut berpesta ria.
Setelah pesta berakhir mulailah raja mengajak Djoko Wali Darmo berunding tentang suasana kerajaan negeri atas angin itu. Raja sebenarnya sangat mengetahui, bahwa kerajaannya adalah dalam keadaan sangat lemah karena patih dan menteri-menterinya adalah orang-orang yang bisanya menjilat dan tidak jujur.
Rakyat negeri itu sudah lama ingin mengadakan pemberontakan untuk menjatuhkan raja, tetapi pemimpin rakyat negeri itu yang tidak lain adalah Djojo Palwogo selalu mencegahnya mengingat menurut perhitungannya waktunya belum tepat.
Djojo Palwogo menjelaskan kepada ketua-ketua kelompok penduduk, bahwa ntuk memenangkan perlawanan terhadap kerajaan bukan rajanya yang harus dijatuhkan tapi kekuasaan-kekuasaan kaki tangan maha patih yang zalim itulah yang harus dihancurkan. Untuk memenangkan perjuangan itu seluruh penduduk desa dan kota harus bersatu padu dan pemuda-pemudanya harus terlatih dalam gladi perang untuk melawan pasukan kerajaan.
Di luar dugaan setelah sebulan Djoko Wali Darmo menjadi menantu raja, Raja mengumumkan, bahwa takhta kerajaan diserahkan kepada Djoko Wali Darmo dengan alasan raja merasa sudah sangat tua dan tidak mampu lagi memegang kendali kerajaan. Hari itu juga tanpa menunda-nunda waktu Djoko Wali Darmo disyahkan menjadi raja negeri atas angin.
Djoko Wali Darmo yang telah syah menjadi raja dan mempunyai kekuasaan penuh segera memecat sang patih dan punggawa lainnya yang bertindak nyeleweng yang pada zaman sekarang ini disebut koruptor.
Pnglima dan hulubalang-hulubalang yang nyeleweng dipecat dan diadili di depan pengadilan penduduk.
Pemuda-pemuda yang telah dilatih gladi perang menggantikan kedudukan prajurit dan mulai hari itu tidak ada lagi prajuruit tetap kerajaan. Wajib bela kerajaan bukan lagi prajurit tetap yang menerima upah tetap tetapi diganti oleh wahjib bela kerajaan 3 tahun sekali berganti. Jadi setiap penduduk negeri atas angin yang berumur 18 tahun sampai 40 tahun mempunyai kewajiban bela kerajaan.
Djoko Wali Darmo beserta paman-pamannya adalah orang-orang yang sangat jujur. Penduduk negeri atas angin benar-benar merasa diayomi. Tidak ada petani yang tidak mempunyai tanah.
Djoko Wali Darmo dalam sesorahnya di depan penduduk negeri menyatakan, bahwa tanah dan alam raya seisinya ini diciptakan oleh Tuhan yang maha kuasa untuk kita semua. Tuhan tidak mungkin membagikannya satu persatu kepada kita. Tetapi kita umat manusia dibekali otak agar kita bisa berfikir. Nah, kitalah yang harus menggunakan akal fikiran kita membagi semunya secara rata dan adil, Segala macam pekerjaan, membuka ladang, menggarap sawah dan segala macam pekerjaan akan lebih ringan dan sempurna jika dikerjakan dengan gotiong royong seperti kalau kita pergi berburu.
Kita berburu bersama-sama, mendapat seekor rusa, kita gotong bersama, sampai di kampung kita royong-royong (potong-potong) dan kita bagi rata untuk semua. Itulah gotong royong. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Dengan begitu semua orang akan hidup bahagia, bisa tidur nyenyak di bawah atap tak kehujananan dan kepanasan dan makan enak dan kenyang tanpa rasa kekhawatiran.
Alhsmdulillahirabbilalamin. Hidup Djoko Wali Darmo. Hidup rakyat negeri atas angin. Horeee.
“Pak, ceritanya selesai? Besok malam cerita Pancekin, Tukang Sihir Yang Jahat, ya pak. Putri Balna itu baik hati sekali.” Celetuk adikku.
“Baik, besok cerita lagi dan besok anjing kita itu kita mandikan. Kutunya banyak, jadi harus digosoki dulu pakai minyak tanah campur minyak kelapa lalu disabuni pakai sabun serai.” Kata ayahku.
“Pak, nama anjing kita siapa?” Tanya adikku Rokhmah.
“Namanya TUPON, karena kita memeliharanya mulai hari ini hari Sabtu Pon.” Jawab ayahku.
TUPON, TUPON, demikianlah nama anjing kami.
Tangerang, Minggu Kliwon 28 Januari 2007.-
--------------------------------------------------------
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar