Sabtu, 18 September 2010

HARGAILAH MILIK ORANG LAIN

CERDIG112006.
LAYANGAN ITU TAK BOLEH KAU MILIKI.
- milik orang lain harus dikembalikan.
Oleh : Tri Ramidjo.

Di bulan Juli udara tanah Merah – Digul sangat panas.
Tapi kami anak-anak Digul sangat senang sebab sekolah libur. Apalagi kalau orangtua kami bersama rombongan oom dan tante mengajak pergi berpiknik. Biasanya kami piknik di gisik Salamah atau ke Glagah dua.

Gisik salamah adalah tepian berpasir halus di tepi sungai Digul sebelah hulu Tanah Merah. Di namakan gisik Salamah karena, ibu Salamah yang juga orang buangan (interniran yang diasingkan oleh Belanda ke Digul) sering menghibur diri berenang-renang di tepian kali Digul dan karena seringnya ibu Salamah berenan-renang di situ maka tepian itu dinamakan Gisik Salamah. Sedangkan glagah dua adalah tumbuhan rumpun glagah di tepian sungai Digul yang kedua. Di tepian sungai Digul ini ada tempat-tempat yang ditumbuhi glagah. Kalau kita berperahu mudik (ke hulu sungai Digul ) menyusuri pantai atau pinggir kali Digul kita akan menemukan tumbuhan rumpun glagah. Rumpun glagah yang pertama kita temukan itu dinamakan glagah 1. Setelah mengayuh jauh dari rumpun gelagah satu tadi kita akan menemukan tumbuhan glagah lagi dan rumpun glagah itu kita sebut glagah 2 dan seterusnya,
Aku tak bisa mengingat berapa jauhnya jarak dari gelagah 1 ke glagah 2, tapi menurut ingatanku waktu kecil jarak itu sangat jauh.

Liburan sekolah kali ini tidak ada yang pergi berpiknik. Bersama teman-teman aku pergi ke kebun oom Saleh di ujung timur kampung B. Kebun itu baru dibuka dan tanahnya cukup luas dan habis dibakar. Tanah itu Baru sebagian kecil yang sudah dicangkul dan ditanami mentimun. Oom Saleh yang punya kebun ini seorang bujangan tidak atau belum beristeri atau mungkin isterinya belum ikut ke Digul. Dengan teman-temanku Rusdi, Karsiti, Lisnari, Supadmoyo, iyat,Triharsono, Sutomo, Sutimah dll.
Mas Supad yang tertua berpesan, bahwa kami main di kebun oom Saleh tidak boleh memetik tanaman apa pun kecuali buah ciplukan dan selasihdandi – buah selasihdandi ini dinamakan buah “krisis” karena buah ini mula-mula ditemukan di rumah Krisis –anak perempuan oom Subroto petugas rumah sakit bagian pembrantasan malaria (malaria besrijding).
Kami tidak berani berlama-lama bermain di kebun oom Saleh ini karena lokasinya dipinggir hutan tempat lalu lintas penduduk asli Papua (kami menyebutnya orang kaya-kaya) kalau mereka masuk ke kampung tempat orang-orang buangan bermukim.

Sebelum ashar kami pulang tetapi tidak langsung pulang ke rumah masing-masing kami berhenti di bawah pohon cemara dekat jembatan perbatasan antara kampung B dan kampung C. Hasil kami mencari buah cipukan dan buah krisis kami bagi rata. Semua mendapat bagian yang sama. Buah ciplukan yang belum matang betul dan asam rasanya, tidak kami bagikan tapi terserah siapa yng mau ambil boleh. Hanya pesan mas Supad, ciplukan yang masih asam sebaiknya jangan dimakan tapi buang saja sebab bisa mengakibatkan murus-murus. Sesudah masing-masing mendapat bagiannya kami pulang bersama.

Sampai di perempatan jalan rumah meneer Suyitno guru kami kami lihat di angkasa tengah beradu ( sangkutan ) layangan oom Sukarman dengan layangan mas Warno. Mas Supad, Triharsono, aku sendiri (Ribut) dan umumnya anak laki-laki memang suka sekali bermain layangan. Kedua layangan itu belum benar-benar tinggi dan belum sepenuhnya mendapat angin. Oom Sukarman dan mas Warno mengulur benang layangannya. Layangan oom Sukarman yang bergambar bintang itu menukik tajam dan………del…..putuslah layangan mas warno.

Layangan yang putus itu kleyang-kleyang dibawa angin turun ke bawah. Kami berlari-lari mengejar layangan putus itu. Triharsono yang larinya paling gesit berhasil menangkap sisa benang layangan yang putus itu.

“Horee, aku yang dapat.” Serunya dengan riang.
“Ya, kamu yang berhasil dan menang lomba lari kali ini,” kata mas Supad.
“Jadi layangan ini jadi milikku, kan. Nanti aku minta benang jahit bapak sedikit.” Kata Triharsono. kegirangan,

Supad dan Triharsono adalah kakak beradik. Kakak beradik itu yang saya kenal yang tertua Supadmoyo, Triharsono, Herutomo, Titi Armani, Harmuniatun dan ada lagi yang lain di Australia adalah anak-anaknya oom Prawito- berasal dari Pati (Jawa Tengah) dan di Tanah Merah Digul bekerja sebagai tukang jahit pakaian (penjahit)
Mas Supad abangnya Triharsono nyletuk.

“Layangan itu sebelum putus milik siapa, Tri?”
“Milik mas Warno”, Jawabnya.
“Kemarin kamu kehilangan pinsil cap buaya karena kurang hati-hati membawa tas sekolah tidak ditutup rapat sedang pinsilnya tidak kamu masukkan di kotak pinsil. Siapa yang menemukan pinsilmu?’ Tanya mas Supad.
“Mas Marfandi yang menemukan di jalan depan rumah oom Hatta (Drs.Mohamad Hatta) dan oom Karso.” Jawab Triharsono.
“Dikembalikan tidak oleh mas Marfandi?” Tanya mas Supad.
“Tentu saja dikembalikan, sebab pinsil itu milikku dan ada tanda namaku di pinsil itu.” Jawabnya.

“Jadi kita tidak boleh memiliki barang orang lain yang bukan milik kita, bukan? Layangan putus dan kleang-kleang dibawa angin dan kau berhasil mengejar dan mendapatkannya. Kita semua berlomba lari mengejar. Tapi layangan itu tetap adalah milik mas Warno sama seperti pinsilmu yang hilang kemarin dulu itu.” Kata mas Supad.

“Mari kita ke rumah mas Warno mengembalikan layangannya.” Kataku.
Kami besama-sama ke rumah mas Warno. Rumah mas Warno berhadapan dengan rumah oom Djojo Soeprobo, guru di sekolah partikulir (swasta) MES (Malay English School yang mengajar anak-anak orang buangan golongan natura yang tidak mau tunduk kepada pemerintah Belanda.

Mas Warno senang dan berterima kasih, bahwa layangannya ditemukan kembali.
Mas Warno mengatakan, besok akan membuat gelasan benangnya lebih baik supaya bisa mengalahkan layangan oom Karman.

Kebetulan hari itu ayah mas Warno baru saja panen kacang tanah. Kami disuguhi kacang tanah rebus oleh ibu mas Warno.

Selesai menikmati kacang rebus, kami segera pergi mandi di kali Digul. Tanpa ganti baju dan tanpa mengeringkan badan dengan handuk, kami kenakan kembali pakaian semula dan pulang ke rumah masing-masing. Dan tentu saja kami mandi tanpa sabunan sebab kami memang tak punya sabun mandi. ***

Tangerang, 20 November 2006.-
---------------------------------------

Jumat, 08 Januari 2010

TAK ADA KATA PUTUS ASA DALAM KAMUS HIDUPKU

TAK ADA KATA PUTUS ASA DALAM KAMUS HIDUPKU
Oleh : Tri Ramidjo.

Upacara pembebasan TAPOL di pulau Buru itu berlangsung di lapangan kota Namlea Buru Utara pada tanggal 20 Desember 1977. Aku termasuk tapol yang dibebaskan pada pembebasan pertama waktu itu.
Aku tidak tahu berapa orang yang dibebaskan dan dengan kapal apa aku dan rombonganku itu diangkut ke Surabaya. Aku juga tak dapat mengenang berapa lama kami melayari lautan dari Namlea ke Surabaya. Tanggal berapa aku sampai di Jakarta di KODIM Jakarta Selatan Kebayoran pun aku tak ingat. Ya, sampai hari ini pun aku tak bisa mengingat kembali hari-hari dan tanggalnnya. Ya, biarlah tak apa. Aku hanya ingin mengingat dan mencatat apa yang terjadi pada hari-hari ketika aku sampai di Jakarta.
Keadaan jasmaniku memang tidak sehat. Aku mengidap penyakit paru-paru yang umumnya teman-teman tapol menyebutnya KP (koch patient ?) dan malaria yang sudah menahun. Tapi hatiku tetap tabah dan kukuat-kuatkan diriku untuk bisa bertemu kembali dengan keluargaku. Keinginan untuk segera bertemu keluarga inilah yang memberi semangat bertahan hidup terutama wajah ibuku yang mendekati usia 80 tahun dan kenyang penderitaan dalam hidupnya tapi tak pernah mengeluh, anakku perempuan yang waktu itu sudah berusia 16 tahun dan isteriku yang kuanggap wanita tercantik di dunia ini. Ya di dunia ini hanya ada dua wanita yang punya sifat keibuan yaitu ibuku dan isteriku.
Ibuku sejak muda mengikuti ayahku yang hidupnya sepenuhnya mengabdi bagi negeri tercinta ini sehingga pada waktu berada di tanah buangan Boven Digul menjadi orang yang paling miskin tapi tak pernah mengeluh. Ibuku di tahun 1940 hanya punya selembar kain dan selembar kebaya. Oom Sjahrir (Sutan Sjahrir yang pernah menjadi PM Republik Indonesia) yang hubungannya sangat dekat dengan keluarga kami, dari tempat pengasingtannya di Banda Neira mengirimkan pakaian-pakaian bekas yang katanya dari keluarga Dr. Tjipto Mangunkusumo yang belum pernah kami kenal secara dekat. Ya, lamunanku pada ibuku yang sangat kurindukan.
Kereta api yang kami naiki dari Surabaya berangkat pada sore hari dan sampai di stasiun Senen pada pagi keesokan harinya. Tapi tidak pagi sekali, sudah agak siang. Dengan memakai caping petani dan menenteng tas pemberian PANGKOKAMTIB ( maaf, aku tak tahu presis, pemberian tas, sepatu dan sarung itu dari mana, katanya dari PANGKOKAMTIB bapak yang baik hati pak Sudomo?) aku bersama rombongan naik truk dari stasiun Senin ke KODIM Jakarta Selatan Kebayoranbaru.
Di KODIM Jakarta Selatan rupanya sudah banyak ibu-ibu keluarga tapol yang menunggu untuk menjemput. Di antaranya ada mas Ari teman lamaku. Ya, dia teman lamaku yang sama-sama berjuang bertempur melawan kolonialis Belanda di th 1945. Bedanya hanya dia tergabung dalam TP Jawa Tengah sedang aku di TRI Kalbar. Dia belum merasakan pedihnya diterpa peluru sedang aku merasakan pedihnya peluru angrem dibokongku sebelah kiri. Aku pernah dimarahi oleh anak buahku karena salah menentukan arah mundur pasukan, sehingga dua hari tak makan hanya makan buah durian sampai mabuk durian. Aku geli mengingat ketololanku waktu itu.
Kukira mas Ari datang untuk menjemputku, tetapi rupanya tidak. Dia menjemput bung Subronto K.Atmodjo yang sama-sama musikus.
Kutanya mas Ari, “apakah isteriku datang menjemputku?”
Jawabnya “tunggu saja, nanti juga datang.”
Terrnyata sampai teman-teman yang terakhir sudah meninggalkan KODIM belum juga keluargaku datang menjemput.
Petugas di Kodim mengatakan, kalau tak ada yang menjemput akan dibawa ke RTC SALEMBA.
Akhirnya datang seorang ibu seorang nenek-nenek. Aku tahu ibu itu ibu Sapar yang puluhan tahun yang lalu pernah menjadi tetanggaku. Kutanya ibu itu akan menjemput siapa. Ibu itu mengatakan akan menjemput anaknya yang dikiranya ikut bebas dalam rombongan pertama itu.
Akhirnya ibu itu mengajakku pulang.
Di tengah perjalanan pulang ibu itu bercerita, bahwa isteriku sudah bersuami lagi dan telah mempunyai seorang anak laki-laki. Sekarang anak laki-laki itu sudah berumur 5 tahun.
Aku terdiam. Aku tak bisa berucap kata. Kemana aku harus menuju sekarang. Ke rumah kontrakan isteriku yang kini sudah berisuamikankan orang lain atau ke mana? Akhirnya kuputuskan untuk ke Pabrik Krupuk milik pak Giyanto yang juga kenalanku. Di sana banyak tempat untuk pekerja-pekerja pabrik krupuk itu.
Kebetulan hari itu pak Giyanto ada di rumah. Beliau menerimaku dengan ramah dan menceritakan tentang isteriku yang telah bersuami lagi dan tentang anakku. Kutanyakan bagaimana tentang ibuku?
Beliau menceritakan, rumah ibuku telah hancur dihancurkan oleh KAMI dan KAPI karena letaknya bersebelahan dengan gudang buku Yayasan Pembaruan – penerbit dan toko buku PKI. Dan kini ibuku tinggal di rumah famili ibuku
Biarlah, untuk sementara aku tak mau berfikir banyak. Kalau umurku masih panjang pasti aku bisa menemukan ibuku.
Pak Giyanto memberi saran agar aku tinggal tenang saja dulu di rumahnya. Mangan ora mangan waton kumpul katanya.
Tak lama setelah aku sampai di rumah pak Giyanto anakku datang. Pakaiannya separuh basah, katanya sedang mencuci pakaian dan mendengar aku pulang dia buru-buru datang.
Maaf, aku hentikan dulu mengetik. Aku tutup dulu pintu kamar. Tak kusadari aku menangs sendiri sesenggukan mengetik kenangan ini. Ya, aku benar-benar menangis. Sepintas berdiri di depanku ayahku Ramidjo yang tersenyum. Kowe nangis le? Mosok pejuang nangis. Aku sing adoh lor adoh kidul ora tau nangis. Teruske olehe ngetik. Songsong hari depan,
Aku tersentak dari rasa trenyuhku dan aku memang harus meneruskan ceritaku.
“Mana ibumu ?” tanyaku.
“Ibu nanti juga ke sini.” Katanya.
Kira-kira setengah jam aku berbincang-bincang dengan anakku. Dia sama sekali tidak menangis. Dia kelihatan tegar dan hatinya teguh. Aku senang melihat sikapnya. Dia benar-benar anakku dan cucu ayahku Ramidjo. Tidak mudah meneteskan air mata. Ya, aku sungguh merasa bangga waktu itu. Aku mengharapkan di kemudian hari nanti dia mau meneruskan cita-cita untuk membuat negeri ini negeri yang benar-benar gemah ripah loh jinawi. Hanya setengah jam aku bertemu dia dan dia segera pamit pulang untuk meneruskan pekerjaan rumahnya mencuci.
Aku berniat untuk berbaring di divan di sebelah meja makan. Tapi sebelum itu datang isteriku. Aku tidak mengatakan dia sebagai bekas isteriku sebab sampai detik ini pun aku belum pernah mencereikan dia walaupun waktu itu dia telah bersuamukan orang lain.
Isteriku menangis sesenggukan mukanya ditelungkupkan di lututku.
“Sudahlah”, kataku.
“Tak ada yang perlu disesalkan. Semua yang kita lakoni ini memang sudah garis hidup kita. Aku tidak menyalahkanmu yang kawin lagi dengan orang lain. Buat apa mesti ditangisi apa yang sudah lalu. Kalau bicara yang salah, akulah yang salah. Bertahun-tahun meninggalkan keluarga. Tidak memberi nafkah dan malahan membebani tugas memelihara dan mengasuh seorang anak. ‘Kan itu anak kita berdua dan yang seharusnya mengasuh dan membesarkan kita berdua. Tapi aku, tanpa pamit mengikuti polisi – e, ya kok mau-maunya digelandang polisi – padahal aku tidak mencuri, tidak berbuat kriminal.” Kataku.
Isteriku makin menangis. Tapi aku waktu itu tetap tegar. Tidak ada perasaan marah waktu itu, tapi rasa benciku kepada Suharto dedengkot orde baru itu makin mendelam dan bahkan rasa benci itu berubah menjadi mendendam.
Apakah sekarang ini, waktu mengetik ini aku masih mendendam Suharto? Jawabku tegas ‘tidak’. Aku tidak dendam dan tidak benci lagi. Rasa benci dan dendam kepada siapa pun sudah kutenggelamkan dalam-dalam ke dasar samudera perasaanku yang paling dalam melebihi dalamnya samudera mana pun.
Mengapa rasa benci dan dendam itu kutenggelamkan? Karena rasa benci dan dendam adalah bagaikan api dalam sekam yang akan membakar diri sendiri sehingga selalu merasa resah, gelisah dan tak ada rasa pasrah.
Isteriku akhirnya berhenti menangis. Kukatakan padanya soal hari depan kita nanti kita pikirkan. Aku belum bisa berfikir sekarang. Dan aku belum tahu apa yang harus kulakukan, sebab aku sekarang ini dalam keadaan sakit.
“Sudahlah.” Kataku kepada isteriku.
“Yang penting kamu mau menandatangani surat penerimaan kepulanganku. Soal yang lain nanti akan selesai dengan sendirinya. Allah maha mengetahui, dan Allah akan membimbing kita di jalan yang benar.” Kataku dengan keyakinan penuh.

Malam itu aku mulai tidur di rumah pak Giyanto. Aku tidur di ruang makan di divan yang terletak di sebelah meja makan. Kupasang kelambu yang biasa kupakai di Pulau Buru. Rupanya nyamuk Jakarta sama saja dengan nyamuk Buru. Gigitnya juga sama gatalnya hanya bedanya di Jakarta tidak ada nyamuk malaria. Aku bisa tidur nyenyak.
Beberapa hari kemudian kuketahui temanku dr. W yang sama-sama belajar di Jepang membuka praktek tidak jauh dari tempatku mondok. Sore itu aku ke kliniknya memeriksakan kesehatanku.
Akhirnya aku tetap berobat ke kliniknya.
Menurut dokter temanku itu, aku sulit disembuhkan kecuali ada mujizat lain. Aku pasrah. Kubeli kunyit, madu dan telur ayam. Setiap akan tidur kuminum air perasan kunyit dicampur kuning telur dan madu dan sedikit garam. Kutekuni jamu ini setiap akan tidur, dan dadaku selalu kugosok dengan reumason cream. Dada terasa hangat dan batuk-batuknya berkurang.
Sebulan telah berlalu dan aku merasa semakin bosan. Apa yang harus kukerjakan. Mencari pekerjaan? Aku ini bisa apa? Dan apa ada orang yang mau menerimaku bekerja dalam keadaan sakit?
Anakku datang. Dia mampir sepulangnya dari sekolah. Kutanya dia bagaimana pelajaran hari ini dan lain-lain yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah. Dia kelihatan senang mendapat perhatian tentang pelajarannya. Akhirnya kutanya dia : “ apakah batu asahan peninggalan simbah (ayahku maksudku) masih ada? Wungkal (batu asahan) itu ada di laci lemari paling bawah.” Kataku.
Dia menjawab : “ndak tahu.”
“Ya, coba cari wungkal itu. Wungkal itu wungkal halus dan kasar” Kalau ketemu tolong bawa kemari, ya”, pintaku.
Benar, keesokan harinya anakku datang membawa sebuah batu asahan (wungkal), Wungkal itu dibawa ayahku dari Australia sebelah wungkal kasar dan sebaliknya wungkal halus. Wungkal itu sudah lumutan.
Kutanya anakku “kenapa wungkal ini lumutan begini?”
Jawabnya “ya, karena lama dipakai untuk bandulan timba mengambil air di sumur.”
“Tak apa, masih bisa dipakai”, jawabku.
Wungkal itu kubresihkan. Kucari sebuah botol kecil kuisi minyak tanah bercampur minyak kelapa. Kucari lagi sobekan-sobekan baju kaos untuk lap. Nah, lengkap sudah. Kumasukkan semuanya ke dalam tas plastik merah.
Keesokan harinya mulailah aku dengan profesi baruku menjadi pengasah gunting dan pengasah pisau, berkeliling di jalan-jalan sekitar daerah Menteng Jakarta Pusat. Hasilnya? Lumayan. Aku bisa makan tanpa harus makan di tempat pondokanku walaupun ibu Giyanto yang baik hati itu selalu menyediakan makanan untukku. Kukatakan kepada beliau tak usah menyediakan makan lagi untukku karena biasanya aku makan di rumah teman. Dan kalau aku pulang belum makan aku akan ambil sendiri.
Tiga bulan sudah berlangsung sejak aku menjalankan profesiku. Seperti biasa aku meneriakkan “asah guntung, asah pisau” berkeliling di daerah gedongan “Menteng”. Di Jalan Pekalongan di dekat rumah pak Chaerul Saleh - menteri dalam kabinet Gotong Royong Bung Karno – aku dipanggil seseorang.
O, rupanya seorang pembantu rumah tangga dengan menggandeng anak perempuan kecil. Kelihatannya seperti anak Tionghwa.
Pembantu itu menunjukkan sebilah pisau berwarna putih perak berkilat.
“Pak, tolong asah pisau ini bisa gak?” tanyanya.
“O, ini pisau sashimi. Ini masih cukup tajam”. Kataku terus terang.
“Ya, pak masih tajam. Tapi ini gompal sedikit. Apa bisa gompalnya dihilangkan?” tanyanya.
“Baiklah, tapi agak lama untuk meratakannya.” Kataku.
“Ongkosnya berapa?” tanyanya.
“Terserah, berapa saja. Saya tidak ngarani soal ongkos. Berapa sajalah, bisa baik atau tidak.” Jawabku.
Mulailah aku mengasah dengan wungkal bagian yang kasar untuk meratakan gompalnya. Setelah betul-betul rata kuasah lagi dengan wungkal bagian halus. Rata sudah dan kucoba untuk mencukur bulu kakiku. Sungguh, tajam sekali pisau itu. Aku sendiripun merasa puas melihat ketajaman pisau itu.
Tengah pembantu itu memberikan uang 500 rupiah sebuah mobil sedan TOYOTA CROWN berhenti. Seorang nyonya keluar dari mobil dan langsung menhampiri. Nyonya itu melihat pisaunya dan lalu mencobanya.
“Kore wa yoku kireru. Yokatta.” (ini tajam sekali. Syukurlah). Celotehnya.
“Sashimi wo kiru tame desu, ne?” (untuk memotong sashimi, bukan?) kataku.
“Hai, sashimi no tame desu. Nihon go dekimasu, ne.” (ya, untuk sashimi. Bisa bahasa Jepang, ya).
“Hai, dekimasu.” (ya, bisa) jawabku.
Kemudian terjadilah dialog macam-macam dengan nyonya itu. Dia Tanya tentang harga daging dan lain-lain. Di tahun 1979 waktu itu belum ada super market seperti sekarang. Biasanya orang asing membeli ikan atau daging di toko Kem Cik atau tempat-tempat belanja tertentu.
Akhirnya nyonya itu bertanya “Doko de Nihongo wo benkyou shita ka? (di mana anda belajar nahasa Jepang).
“Nihon no Waseda de benkyou shimashita”. ( di Waseda univ. di Jepang) jawabku.
“Waseda………?” nyonya itu bergumam lalu masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian nyonya itu keluar bersama suaminya. Suaminya berkata “douzo, ohairi kudasai” –silakan masuk.
Saya merasa agak malu dengan cara tuan itu mempersilakan masuk. Caranya sangat sopan sedang saya hanya seorang pengasah gunting.
Aku duduk di kursi tamu. Kemudian tuan itu memperkenalkan diri dan memberikan kartu namanya.
Dalam tulisan ini sengaja saya tidak mau menyebutkan nama tuan itu karena waktu beliau meninggakan Indonesia setahun kemudian beliau tidak mau memperkenalkan saya kepada orang Jepang lain dan berarti bahwa beliau tidak mau dikenal namanya sebagai orang yang pernah mengenal saya.
Tuan itu menanyakan mengapa saya sebagai orang yang pernah belajar di Waseda University, universitas yang sangat terkenal di Jepang dan untuk ujian masuknya sangat sulit, bekerja sebagai pengasah gunting dan pisau? Apakah pekerjaan itu dilakukan untuk coverjob sebagai intelejen? Apakah dari BAKIN?
Saya jawab, bahwa saya adalah sampah. Sampah saja masih ada nilainya sebab sampah masih bisa didaur ulang dan dijadikan pupuk. Tetapi orang-orang seperti saya adalah sampah mati, sampah yang sangat tidak berguna. Ibarat penyakit, penyakut kusta atau lepra yang siapa pun tak akan mendekat. Dan orang-orang seperti saya ini biasa dijadikan kambing hitam.
Semula tuan itu tidak juga bisa mengertri. Akhirnya saya berterus terang, bahwa saya baru tiga bulan yang lalu bebas sebagai tahanan politik dari Pulau Buru.
Mendengar keteranganku, bahwa aku adalah tapol yang dibebaskan dari Pulau Buru tuan itu bangkit berdiri. Kemudian dia membawa foto-foto dokumentasi pembebasan tapol Buru. Dia menunjukkkan sebuah foto dan menanyakan apakah aku kenal foto itu. Aku jawab, bahwa itu adalah foto ahli hukum terkenal Profesor Doktor Suprapto SH, jawabku. Berturut-turut dia menunjukkan foto Subronto K.Atmodjo, Ferdinan Runturambi dll. Semuanya memang kukenal karena kebetulan sama-sama satu unit di Unit XV Indrapura. Dan kebetulan ada foto saya sendiri yang sedang memanggul bungkusan tikar dan mengenakan caping bambu yang biasa dipakai waktu mencangkul.
“Soo ka, soo ka. Kawai-soo-da. Komatta-ne.” ( begitukah, susah, ya). Gumamnya. Kemudia dia berkata.
“Sayang, saya sudah punya asisten. Tapi begini saja. Bisa Bantu saya tiga hari dalam seminggu? Kalau mau silakan besok datang ke sini.”
Begitulah ceritanya.
Keesokan harinya aku mulai bekerja. Semula aku hanya bekerja tiga kali seminggu yaitu hari Senin, Rabu dan Jum’at. Tetapi kemudian aku bekerja penuh dalam seminggu dan hari Sabtu dan Minggu libur.
Tuan tempat aku bekerja itu sungguh berperi kemanusiaan.
Melihat aku dalam keadaan sakit dia berusaha membelikan obat-obatan dari Jepang dan memberi vitamin yang saya anggap sangat baik. Nama vitamin itu “Popon S” dan ternyata vitamin yang berisi B1, B6, B12, mineral dan unsur-unsur lainnya itu menambah daya tahan tubuh yang luar biasa.
Selain memberi vitamin berbentuk tablet, tuan itu hampir setiap makan siang mengajakku ke restoran Jepang dan aku diharuskan makan banyak makanan-makanan bergizi. Setiap pergi tugas ke luar Jakarta, ke Bali, Sumatra dan tempat-tempat lainnya aku selalu diajak serta. Kegemaranku memotret juga tersalur dan aku memang dulunya terbiasa memegang kamera film. Ketika itu film masih hitam putih dan kameranya juga cukup berat tidak seperti sekarang ini semuanya serba jadi. Tapi untunglah aku mampu dan bisa mengerjakannya, dan aku pernah ikut membuat film perjalanan Marcopolo dari ujung utara Sumatra (daerah Aceh) sampai ke Sumatra Selatan Tanjung Karang – Lampung dan sekitarnya. Pernah di daerah Sumatra Barat masuk ke hutan untuk mencari tempat tumbuhnya bunga Raflessa. Seorang di antara orang-orang Jepang yang ikut rombongan kami memotret dan mengeluarkan rol-rol film dari kotaknya. Kotak-kotak dan kertas-kertas bekas film yang sudah dipakai itu dimasukkan kembali ke dalam tas dan tidak dibuang begitu saja padahal berada di dalam hutan. Sampah-sampah kotak dan kertas-kertas itu baru dibuang di kotak sampah di hotel. Begitu hati-hatinya orang-orang Jepang itu menjaga kebersihan lingkungan.
Aku mulai punya banyak kenalan orang-orang Jepang dan mulailah aku mencari tambahan penghasilan dengan mengajar bahasa Indonesia kepada orang-orang Jepang.
Kehidupanku mulai berubah. Aku bertambah sehat. Prenghasilanku lumayan dan akhirnya aku bisa mengontrak sebuah rumah untuk 2 tahun. Aku berhasil mengumpulkan keluargaku yang berserakan.
Tinggallah kami sekeluarga, ibuku yang sudah 80 tahun, isteriku, anakku (perempuan) yang baru masuk SMA dan anakku laki-laki berumur 5 tahun dan aku. Aku beruntung mendapat seorang anak laki-laki dari isteriku yang sempat bersuamikan orang lain. Jika tidak anakku tentu hanya seorang sebab aku tidak akan mampu lagi untuk mendapatkan seorang anak pun karena akibat penyiksaan dengan stroom listrik ketika diinterogasi membuat diriku i m p o t e n yang hingga kini tak tersembuhkan.
Apa yang harus kuucapkan? Sebagai seorang muslim aku hanya bisa berucap Subhanallah. Alhamdulillahirabbilalamin.
Juga setiap selesai shalat aku selalu memanjatkan do’a agar pak Harto panjang umur dan sebagai penyebab dari semua derita yang kualami dan dialami oleh korban-korban peristiwa G30S, mau kiranya menggunakan sisa hidupnya untuk bertaubat, bukan hanya bertaubat kehadirat Allah tapi mengakui dosa-dosanya kepada Rakyat dan negeri tercinta ini dan mengembalikan harta-harta yang sudah diambilnya. Maaf, semula saya ingin memakai kata “dirampasnya” atau “dirampoknya” tapi kupikir kata-kata itu kasar dan tidak sopan dan tidak lazim dipakai di zaman Bung Karno karena melanggar kode etik jurnalistik maka kuganti dengan kata “diambilnya”.
Semoga saja pengalaman getir-pahit ini tidak terulang kembali bagi generasi kini dan selanjutnya.
Stop ! - bahasa Jepangnya TOMARE ! - segala bentuk pelanggaran HAM.
Sekian.

Tangerang, Senin Pahing 06 November 2006.
-------------------------------------------------------

Sabtu, 02 Januari 2010

ANJING KAMI NAMANYA TUPON

CERDIG 012807
ANJING KAMI NAMANYA TUPON.
Oleh : Tri Ramidjo

Waktu itu aku masih tiggal di kampung C. Rumah yang kami tempati itu adalah bekas rumah oom Haji Gazali yang besluit pengasingannya telah dicabut dan oom Haji Gazali itu pulang ke Jawa.
Rumah itu cukup besar ada ruang depan yang cukup luas dimana terletak amben tidur tempat tidur ayahku dan mas No kakakku tertua dan ada sebuah meja makan terbuat dari kayu jati peninggalan oom Suwito yang juga telah kembali ke Jawa yang cukup besar dan cukup untuk duduk enam orang dewasa makan bersama. Di atas meja itu tergantung sebuah lampu ‘aladin atau kami menamakannya lampu wasiat’ Ya, lampu itu benar-benar lampu wasiat karena bahan bakarnnya minyak tanah dan pemakaian minyak tanahnya sangat hemat sedang nyalanya cukup terang seperti lampu listrik 40 watt.
Di meja itulah biasanya kami di malam hari duduk bersama sekeliling meja masing-masing membuka buku pelajaran dan belajar.
Malam itu kakaku tertua mas No sedang menggambar mencontoh foto di Koran gambarnya presiden Rosevelt di atas kertas gambar dengan memakai konte (semacam pinsil yang warnanya hitam), kakakku yu Ni membaca ilmu bumi pelajaran hari itu tanpa bersuara, adikku Rokhmah melihat-lihat gambar di buku bacaan bahasa Inggris yang penuh gambar warna warni dan aku sendiri menyelesaikan pelajaran hitungan home work atau PR.
Ayahku tiduran di atas amben sambil mengaji tanpa melihat Alqur’an dengan suara sedang tidak mengganggu kami yang sedang belajar sedang ibuku dengan lampu teplok menjahit dengan tangan baju rok kakakku Darsini. Baju rok itu dibuat ibuku dari kain poplin putih di lehernya diberi sulaman dengan benang berwarna biru. Ibuku memang pandai menjahit tapi karena kami tidak mempunyai mesin jahit, semua baju anak-anaknya dijahit dengan tangan.
“Lihat, anak perempuan itu terseret gelombang ketengah laut. Dan lihat si Bruno anjing itu terjun ke laut menolong anak perempuan itu.” Teriak Rokhmah adikku yang sejak tadi melihat gambar-gambar di buku. Rokhmah belum bersekolah dan belum pandai membaca. Umurnya baru 4 tahun. Tapi dia sering mendengarkan aku membaca dan hafal cerita On The beach gambar yang di lihatnya itu.
“Bagus, bagus Bruno memang anjing pintar. Dia bisa menolong anak perempuan itu.” Katanya lagi.
Rokhmah bangkit dari duduknya. Dia mendekati ayahku yang tiduran di amben.
“Pak” katanya.
“Bagaimana kalau kita memelihara anjing. Anjing itu bisa diajari macam-macam.
Kita punya kucing si Telon, burung kakak tua si Yakob dan kasuwari si Riri. Telon, Yakob dan Riri sangat rukun tidak cakar-cakaran. Kita minta saja anak anjing oom Jamaludin seekor.” Celetuk adikku.
“Jangan, anjing itu najis. Kita tidak boleh pelihara anjing.” Kata ibuku.
“Tapi embah Brahim yang dari Banten dan kiyahi itu pelihara anjing banyak, Sering dimandikan dan diajak berburu celeng. Enam ekor anjingnya. Kalau najis tentu mbah Brahim tidak akan memelihara anjing. Yang penting kata mbah Brahim, jangan boleh menjilat karena lidahnya najis. Itu pun kalau anjing itu makannya yang jorok-jorok, tapi anjing mbah Brahim diberi makan sagu dan ikan kadang-kadang nasi lebihan tidak pernah makan kotoran.” Celetuk adikku Rokhmah.
“Ya, ya. Besok pulang dari rumah sakit antri pil, kita mampir ke rumah oom Jamal. Kita minta satu ekor anjingnya.” Kata ayahku.

Mendengar kata ayahku adikku merasa senang dan lalu merebahkan diri de dekat ayahku.
“Pak, cerita dong.” Pintanya.
“Tunggu masmu Tri menyelesesaikan PR nya. Nanti bapak cerita.”
“Cerita apa pak” Tanya adikku.
“Cerita Djoko Wali Darmo, cerita anak orang miskin, berhati jujur dan selalu berbuat baik untuk siapa saja bukan hanya kepada sesama manusia, tapi kepada semua makhluk hidup.” Kata ayahku.
Aku cepat-cepat menyelesaikan hitunganku dan setelah dikoreksi mas No dan tak ada yang salah kumasukkan semua buku-buku untuk ke sekolah besok dan aku segera menyusul naik ke amben tempat tidur bapak.
Mulailah ayahku bercerita :

“Di suatu dusun ada seorang ibu yang sangat miskin. Kerjanya mencari daun di hutan dan daun itu dibawanya ke pasar untuk dijual. Ibu itu mempunyai seorang anak laki-laki namanya Djoko Wali Darmo. Orang menyebut ibu itu dengan panggilan bu Wali Darmo.
Djoko Wali Darmo tidak bersekolah tapi rajin belajar sendiri dengan ibunya. Dia belajar huruf honocoroko, belajar nembang dandang-gulo, sinom dan juga belajar cerita-cerita wayang.
Kalau ada pagelaran wayang kulit, Djoko Wali Darmo pasti pergi menonton semalam suntuk dan dia sangat senang pada lakon-lakon wayang Pandowo yang walaupun di kuyo-kuyo selalu sabar dan bertekat untuk menang. Dan benar di akhir perang baratayudha Pandowo menang bisa menghancurkan Ngastina yang selalu bertindak angkara murka.
Setelah Djoko Wali Darmo beranjak dewasa dia ingin pergi ke kota kerajaan dan ingin mengabdi kepada raja.
Ibunya mengijinkannya dan membekalinya sebilah keris dan sebungkus nasi tiwul. Sebelum berangkat dia sungkem kepada ibunya dan ibunya sambil mengelus-elus kepala anaknya berkata : “berangkatlah ngger, satu hal yang harus kau pegang teguh adalah kejujuran. Jangan sekali-kali menyia-nyiakan orang lain. Jangan menggurui orang lain dan dengar bak-baik perkataan orang lain. Segala kata-kata yang baik yang patut ditiru, teladanilah tapi yang tidak baik dan menyesatkan jauhilah. Di dunia ini penuh setan dan setan selalu mengintai celah-celah hati kita untuk masuk ke dalamnya dan mengajak kita ke jalan yang sesat. Setan biasanya selalu berbentuk manusia dan karena itu jangan salah memilih teman.” Begitulah bermacam-macam nasehat ibu Wali Darmo berpesan kepada anaknya.
Maka berangkatlah Djoko Wali Darmo.
Dia berjalan melewati jalan hutan, jalan setapak. Tengah hari dia merasa capek dan duduklah dia beristirahat sambil membuka bekal makanannya. Baru saja dia akan menyuap nasi tiwulnya (nasi tiwul adalah nasi yang dibuat dari tepung gaplek singkong) terdengar suara orang memanggil namanya. “Djoko, Djoko, tolonglah aku. Ekorku terjepit, tolong lepaskan,” teriak suara itu.
Djoko Wali Darmo menoleh kekiri dan ke kanan tapi dia tidak menjumpai siapa pun. Dia melihat ke atas ke dahan-dahan yang rimbun daunnya. Terlihatlah olehnya seekor kera meringis-ringis kesakitan. “Tolong aku Djoko, ekorku terjepit.”
Dengan trengginas Djoko menaiki pohon itu. Ekor monyet yang terjepit itu dilpaskannya dan sambil mengelus-elus kepala monyet itu dia berkata. “Hati-hati, jangan sampai terjepit lagi ya.” Ujarnya.

Setelah selesai makan Djoko Wali Darmo meneruskan perjalanannya. Baru berjalan beberapa langkah terdengar suara orang memanggilnya.
“Mas Djoko, mas Djoko tunggu. Aku ikut kamu.” Kata suara itu.
Djoko Wali Darmo berhenti dan menoleh ke belakang.
Seorang pemuda tampan dengan memakai iket (ikat kepala seperti blankon yang biasa dipakai oleh orang Jawa) berlari-lari kecil menyusulnya.
“Ki sanak ini siapa dan untuk apa menyusulku?” Tanya Djoko W.D.
“Namaku Djoyo Palwogo. Aku adalah kera yang tadi mas Djoko tolong. Karena aku sudah ditolong aku akan ngawulo pada mas Djoko. Aku akan menemani ke mana saja mas Djoko pergi. Dalam keadaan susah dan senang aku akan tetap menjadi teman dan aku tidak akan ingkar janji.” Kata Djoyo Palwogo yang tidak lain adalah si monyet yang terjepit ekornya.

Djoko Wali Darmo mlanjutkan perjalanannya bersama Djoyo Palwogo. Tak lama kemudian sampailah mereka di pinggir sungai. Air sungai itu sangat jernih. Mereka berdua minum air sungai itu sepuas-puasnya. Di tepi sungai itu terlihat ada walesan pancing dan rupanya walesan itu meliuk-liuk karena umpannya ditarik oleh seekor ikan yang terkena pancing. Djoko Wali Darmo segera menarik walesan itu dan meggelepar-geleparlah seekor ikan yang cukup besar. Anehnya ikan yang terkena pancing itu pandai berkata-kata.
“Mas Djoko Wali Darmo” kata ikan itu.
“Lepaskanlah aku, karena aku kurang hati-hati aku telah memakan umpan di pancing itu. Tolonglah, budi baik mas Djoko pasti kubalas di kemudian hari nanti.” Katanya lagi.
Djoko Wali Darmo melepaskan ikan itu sambil berkata. “Nah, berenanglah dan hati-hati jangan sampai terkena pancing lagi.”
Sambil berenang gembira ikan itu mengucapkan terima kasih.

“Ceritanya sampai di sini dulu ya, besok malam disambung”, kata ayahku.
“Teruskan pak. Kan ikan itu nanti menjelma menjadi manusia ‘kan. Dan mengikuti perjalanan Djoko Wali Darmo. Pasti dia jadi sahabat yang setia” Celetuk adikku Rokhmah.
“Ya, betul , tapi besok diteruskan. Masmu Tri sudah ngantuk dan besok bangunnya kesiangan. Nah pindah ke amben kamar, ya. Jangan lupa baca doa sebelum tidur. Sudah sikat gigi belum. Sikat gigi dulu sebelum tidur.” Kata ayahku.
Aku turun dari amben. Kuambil sikat gigi dan gelas berisi air lalu keluar ke halaman depan. Aku takut keluar sendirian. Kuminta kakakku mas No menemani. Di langit banyak bintang gemerlapan. Nyamuk menginging di telinga. Aku cepat-cepat menggosok gigi. Jalan raya yang membujur dari arah barat berawal dari rumah sakit Wilhelmina Zieken Huis ke timur ke kampung A yang ada di depan rumah kami terlihat gelap tak ada cahya sedikit pun, Di kejauhan di arah timur lampu rumah panggung Mbah Kusen masih menyala. Biasanya dari arah rumah Mbah Kusen terdengar suara biola yang digesek oleh oom Suradi yang tinggal bersama mbah Kusen.
Aku segera masuk rumah menutup pintu. Ayahku masih berbaring di amben dan mengaji. Aku segera naik ke amben di kamar tidur bersama ibuku, mbakyuku Darsini dan adikku Rokhmah, segera membaca doa lalu tidur sampai pagi.

Antri minum pil kinine sore itu terasa lama sekali. Oom A.J.Patty (Alexander Jacob Patty – siapa saja yang pernah pergi ke Bandung tentu pernah melihat jalan raya di Bandung yang memakai nama oom Patty tersebut. Beliau adalah PKI – Perintis Kemerdekaan Indonesia berasal dari Ambon.
Oom Patty memanggil nama-nama menurut abjad dari A sampai Z. Akhirnya terdengar juga panggilan, Sardjono…kemudian terdengar lagi Soetaslekan…. dan kemudian Soeromidjojo, nama ayahku dipanggil. Segera kami sekeluarga antri menerima pil kinine, dewasa menerima tiga butiur pil dan anak-anak menerima dua butir pil kinine buatan Bandung ( pil BK – Bandoengse Kinine Fabrik) dan pil itu harus kami telan di situ disaksikan oom Patty – tidak boleh dibawa pulang. Minum pil kinine tiap sore adalah keharusan untuk mencegah terkena penyakit malaria. Walaupun telah dicegah demikian rupa, karena Tanah Merah – Digul memang penuh dengan rawa-rawa sarang nyamuk malaria sukar menghindar dari penyakit malaria dan aku sendiri pun sejak kecil menjadi langgananan penyakit malaria dari malaria tropika, tertiana, hamitten hanya untungnya belum terkena malia hitam yang air seninya menjadi kehitam-hitaman dan malaria kuning yang sekujur tubuh sampai ke kuku dan mata menjadi kekuning-kuningan.
Selesai antri minum pil kami menyusuri jalan pulang menuju ke arah timur. Kami melewati sekolah Standard School (aku tidak sekolah di situ karena ayahku masih natura dan belum tunduk kepada gubernemen), melewati rumah oom Patty, melewati lapangan tennis dan sampai di perapatan dekat toko Tantui di dekat situ terletak rumah oom Jamal.
Setelah ayahku berbincang-bincang dengan oom Djamal ayahku mendekati anak-anak anjing yang sedang menetek induknya. Induk anjing itu menggeram tapi kemudian dielus-elus oom Djamal.
Ayahku memilih seekor anjing jantan yang terkecil warnanya belang hitam putih lalu dimasukkan ke dalam kardus. Berjalanlah kami pulang ke rumah membawa anak anjing itu. Sampai di rumah segera anak anjing itu diberi makan nasi dengan kuah ikan kemudian di masukkan ke dalam kandang yang sudah disediakan ayah dilengkapi dengan bekas karung beras sebagai kasur tempat tidurnya.
Magrib segera tiba dan setelah shalat magrib bersama ayahku di amben besar tempat tidur ayahku, kami mengamini do’a yang dibaca ayah kami.
Karena hari itu hari Sabtu malam minggu, sesudah makan malam kami tidak belajar. Sesudah shalat Isa ayahku meneruskan ceritanya semalam.

“Rokhmah, masih ingat tidak sampai di mana ceritanya tadi malam?” Tanya ayahku.
“Ikan itu menjelma menjadi manusia dan menjadi teman seperjalanan Djoko Wali Darmo, ‘kan?” jawab adikku Rakhmah.
“Ya, betul Jadi sekarang berapa orang teman Djoko Wali Darmo.?” Tanya ayahku.
“Mereka berempat pak.” Jawab adikku.
“Bertiga, kataku. Djoko Wali Darmo, Djoyo Palwogo si monyet itu dan Tirto Taruno si ikan itu.” Kataku.
“Tidak, mereka berempat” kata addiku ngotot.
“Siapa lagi yang satu” tanyaku.
“Tentu saja Allah juga ikut menyertai mereka”, jawab adikku.
“Benar, dik Rokhmah benar. Allah selalu menyertai kita dan tidak boleh kita lupakan.” Kataku.

“Baiklah” kata ayahku.
“Mereka masih berjalan di jalan setapak di tengah hutan. Terdengar lagi suara memelas minta tolong. Mereka bertiga melihat ke kiri kanan tapi tak ada sesuatu yang kelihatan. Di ranting kayu kecil ada sebuah sarang labah-labah yang besar. Seeokor labah-labah besar hitam merayap mendekti mangsanya. Siapa mangsanya? Seekor capung merah yang terjerat sarang labah-labah itu. Dengan tangkas Djoko Wali Darmo menangkap capung merah itu dan melepaskan benang-benang laba-laba yang menjeratnya lalu melepaskan capung itu ke angkasa. Capung itu terbang tinggi sambil berucap terima kasih.
Seperti halnya dengan monyet dan ikan yang menjelma menjadi manusia begitu juga capung merah tadi pun menjelma menjadi Abrit Atmodjo dan menyertai perjalanan Djoko Wali Darmo.
Djoko Wali Darmo, Djoyo Palwogo, Tirto Taruno dan Abrit Atmodjo akhirnya sampai di pinggir kota.
Penduduk dusun sedang ramai membicarakan tentang adanya sayembara di kota raja. Raja kerajaan itu ingin memilih seorang menantu yang betul-betul gagah dan tangguh.

Sayembara itu berbunyi :
Pertama si calon menantu harus bisa memanjat pohon aren dan mengambil buahnya tapi memanjatnya harus nyungsang (kepalanya lebih dahulu), jadi memanjat terbalik.
Kedua si calon harus bisa mengambil golekan kencana (boneka emas) yang jatuh tenggelam di kolam terdalam yang ada di keputren.
Ketiga si calon harus bisa memenangkan pertarungan dengan harimau ganas yang sudah sebulan tidak diberi makan, dan
Kelima si calon harus bisa memilih dengan tepat, yang mana sebenarnya putri raja yang sebenarnya di antara 20 orang putri yang berpakaian sama dalam satu barisan.

Djoyo Palwogo membujuki Djoko Wali Darmo agar mengikuti sayembara itu. Siapa tahu nantinya menang dan berhasil mempersunting putri raja dan karena raja itu anaknya hanya seorang putri, di kemudian hari pasti takhta kerajaan akan diserahkan kepada putrinya atau menantunya.
“Aku tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Memanjat pohon kelapa saja aku tak bisa apalagi memanjat pohon aren yang penuh duri dan memanjatnya nyungsang lagi, mana mungkin. Menyelam kolam yang dalam, bertarung dengan harimau, bisa-bisa aku hanya pulang nama. Tidak, tidak aku tidak berani.” Kata Djoko Wali Darmo.
“Kau lupa Djoko, Kau punya keris pusaka ayahmu dan keris itu bukan barang mainan. Itu keris yang selalu dipakai ayahmu bertempur di medan perang melawan angkara murka. Ayahmu dulunya adalah panglima perang kerajaan ini. Aku adalah pengikut setia ayahmu.” Kata Djoyo Palwogo.
Djoko Wali Darmo terkejut. Dia lalu sujud sungkem kepada Djoyo Palwogo.
“Maafkan aku paman, aku tidak tahu kalau paman adalah penderek ayahku. Aku sendiri tidak tahu siapa ayahku. Kata simbok, ayahku sudah meninggal sejak aku masih bayi abang.”
“Baiklah, ikuti saja sayembara itu. Nanti semua paman yang atur.” Kata Djoyo Palwogo.

Hari yang dinanti-nantikan yaitu hari dimulainya sayermbara pun tiba. Singkat cerita dengan mudah sayembara pertama menaiki pohon aren nyungsang dapat dimenangkan berkat Djoyo Palwogo yang aslinya adalah monyet yang memang pintar memanjat.
Tibalah sayembara yang kedua yaitu menyelam untuk menemukan golekan kencana atau boneka emas. Djoko Wali Darmo diwakili sahabatnya yaitu Tirto Taruno.
Dia menyelam dalam sekali akhirnya bertemulah dia dengan putri ikan lodan yang tengah bermain-main degangan golek kencana.
Tirto Taruno menghampiri ikan lodan itu dan berkata : “Sang Putri, apakah anda putrinya raja ikan lodan? Sedang bermain apakah sang putri?”
Putri ikan lodan menjawab. “Ayahku kemarin menemukan golek kencana ini. Lihat paman, golek kencana ini sangat indah dan berkilat-kilat. Aku senang bermain dengn golekan ini. Lihat paman, alangkah indahnya. Benar-benar aku beruntung mendapatkan golekan ini”.
Tirto Taruno mendekatkan diri dan melihat golekan kencana itu dan berkata :.
“Ya betul. Golekan kencana ini memang sangat indah. Tapi sayang golekan ini adalah milik putri raja atas angin yang terjatuh di kolam ini. Aku diutus oleh raja atas angin untuk menemukan golekan ini. Apakah sang putri mau mengembalikannya?”
Putri ikan lodan menjawab : “Tentu saja paman. Kalau golekan ini memang milik orang lain aku tentu tidak berhak memikikinya dan aku harus mengembalikannya. Bukankah memiliki kepunyaan orang lain sama halnya dengan mencuri. Sebagai seorang putri tentu saja aku tidak mau menjadi pencuri. Paman , mari kita ke istana. Kita minta izin dulu kepada ayahku untuk mengembalikan golek kencana ini kepada pemiliknya.”
Tirto Taruno dan putri ikan lodan itu segera pergi ke istana bawah air menghadap sang Raja Ikan Lodan.
Sang Raja Ikan Lodan sangat gembira kedatangan tamu jauh yang tidak lain adalah sahabatnya.
Berceritalah Tirto Taruno tentang maksud kedatangannya di istana bawah air. Radja Ikan Lodan bertanya kepada putrinya “Bolehkah boneka Kencana itu dikembalikan kepada pemiliknya?”
“Tentu saja boleh ayah. Walaupun kita bangsa ikan bukan bangsa manusia kita juga punya tata cara dan sopan santun orang bilang siapa saja yang tidak tahu unggah-ungguh dan sopan santun sering dikatakan “tidak jawani” atau bahasa belandanya onbeschaafd kata guruku ikan salem yang dari Eropa itu. Jadi dengan senang hati golekan kencana itu kuserahkan kembali kepada pemiliknya.”

Tirto Taruno lalu pamitan dan dengan membawa golekan kencana kembali menemui Djoko Wali Darmo.
Sang putri anak raja atas angin senang sekali menerima kembali boneka kencananya dan berjanji suatu waktu nanti akan mengundang putri anak raja ikan lodan ke istananya. Putri anak raja atas angin sangat kagum bahwa putrid anak raja ikan lodan itu ternyata sangat berbudi baik melebihi budi pekerti manusia biasa yang sering merampas milik orang lain dan bahkan sering manusia biasa bertindak sewenang-wenang dengan atas nama kekuasaan.

Sekarang sampailah pada sayembara ketiga yaitu Djoko Wali Darmo harus bertarung dengan harimau ganas yang sudah berminggu-minggu tidak diberi makanan. Djoko Wali Darmo duduk bersila di tengah gelangggang dan tidak lama kemudian dibukalah kerangkeng harimau yang ada di gelanggang itu.
Harimau ganas itu melompat keluar sambil mengaum. Raja dan permaisurinya beserta putrinya tergetar hatinya merasa kasihan kalau Djoko Wali Darmo yang tampan dan kelihatan welas asih itu sampai dimangsa oleh harimau ganas itu. Tetapi apakah yang terjadi?
Sungguh memnakjubkan. Harimau ganas itu berlari mendekati Djoko Wali Darmo dan bersujud. Djoko Wali Darmo mengelus-elus kepala harimau itu dan berkata. “Terima kasih paman, paman tidak memangsaku walaupun aku tahu paman sangat lapar.”
Harimau itu menjawab : “Ngger anakku Djoko, melihat keris yang terselip dipinggangmu, aku tahu kau adalah anak sahabatku. Ayahmu adalah sahabatku sehidup-semati. Tak usah banyak cerita dulu, naiklah ke punggungku.”
Djoko Wali Darmo segera naik ke punggung harimau itu dan harimau itu pun berjalan ke arah tempat raja duduk. Semua orang yang menonton sayembara itu itu berlarian ketakutanm tapi Djoko Wali Darmo berseru. “Duduklah di tepat masing-masing dan tak usah takut.”
Djoko Wali Darmo turun dari punggung harimau itu dan melakukan sembah kepada raja.
Raja sangat kagum melihat kesaktian Djoko Wali Darmo dan memuji-mujinya.
Keesokan harinya tibalah saatnya sayembara terakhir yaitu pemilihan putri raja yang sebenarnya. Sang putri sendiri merasa kuwatir kalau-kalau Djoko Wali Darmo salah pilih dan bukan dirinya yang teriplih sebab putri raja itu sudah terlanjur jatuh cinta kepada Djoko Wali Darmo yang tampan dan sakti itu.
Sebelum sayembara dimulai Djoyo Palwogo telah membisiki Djoko Wali Darmo, bahwa putri raja yang asli adalah putri yang di punggungnya dihinggapi capung atau kinjeng merah.
Di halaman istana telah berbaris duapuluh orang putri-putri cantik yang akan dipilih disaksikan oleh warga istana raja dan para penduduk. Orang-orang dari desa-desa yang jauh memerlkan hadir untuk menyaksikan sayembara itu.
Djoko Wali Darmo dengan menunggang harimau memasuki halaman istana. Dia turun dari punggung harimau berjalan ke tempat duduk raja dan permaisuri.
Setelah menyembah dan mengucapkan beberapa patah kata minta izin dan minta do’a restu mulailah Djoko Wali Darmo berjalan di depan putrid-puiri yang berbaris itu. Dia melewati satu persatu putri-putri itu dari sebelah depan dan sampai putri yang terakhir tak seorang pun yang dipilihnya. Putri-putri yang berbaris itu berdebar-debar jantungnya dan semuanya harap-harap cemas untuk dipilih Djoko Wali Darmo sebagai pasangannya, tapi alangkah kecewa mereka karena tak seorang pun yang dipilih.
Sekarang Djoko Wali Darmo berjalan lagi dari arah belakang putri-putri itu. Sesampainya di tengah barisan Djoko Wali Darmo berhenti dan menarik dan menggandeng putri yang berdiri di barisan nomor tujuh.
Benar putri itu adalah yang tercantik di antara keduapuluh putri-putri yang berbaris itu.
Putri itu di ajaknya untuk menghadap dan menyembah raja. Raja dan permaisuri merasa sangat bahagia karena ternyata Djoko Wali Darmo tidak salah pilih.
Sebelum pernikahan diresmikan Djoko Wali Darmo meminta izin kepada raja untuk menjemput ibunya yang jauh di dusun seberang hutan. Dengan dinaikkajn ke atas tandu yang biasa dipakai putri-putri dibawalah ibu Djoko Wali Darmo ke istana.
Tentu saja ibu Djoko Wali Darmo pakaiannya digabnti dengan pakaian bangsawan yang indah lengkap dengan perhiaannya.
Permaisuri raja sangat terkejut dan merasa sangat gembira karena ibu Djoko Wali Darmo ternyata adalah masih saudara sepupunya sendiri yang telah lama hiang.

Tujuh hari tujuh malam diadakan perayaan pernikahan Djoko Wali Darmo dan seluruh rakyat negeri itu turut berpesta ria.

Setelah pesta berakhir mulailah raja mengajak Djoko Wali Darmo berunding tentang suasana kerajaan negeri atas angin itu. Raja sebenarnya sangat mengetahui, bahwa kerajaannya adalah dalam keadaan sangat lemah karena patih dan menteri-menterinya adalah orang-orang yang bisanya menjilat dan tidak jujur.
Rakyat negeri itu sudah lama ingin mengadakan pemberontakan untuk menjatuhkan raja, tetapi pemimpin rakyat negeri itu yang tidak lain adalah Djojo Palwogo selalu mencegahnya mengingat menurut perhitungannya waktunya belum tepat.
Djojo Palwogo menjelaskan kepada ketua-ketua kelompok penduduk, bahwa ntuk memenangkan perlawanan terhadap kerajaan bukan rajanya yang harus dijatuhkan tapi kekuasaan-kekuasaan kaki tangan maha patih yang zalim itulah yang harus dihancurkan. Untuk memenangkan perjuangan itu seluruh penduduk desa dan kota harus bersatu padu dan pemuda-pemudanya harus terlatih dalam gladi perang untuk melawan pasukan kerajaan.

Di luar dugaan setelah sebulan Djoko Wali Darmo menjadi menantu raja, Raja mengumumkan, bahwa takhta kerajaan diserahkan kepada Djoko Wali Darmo dengan alasan raja merasa sudah sangat tua dan tidak mampu lagi memegang kendali kerajaan. Hari itu juga tanpa menunda-nunda waktu Djoko Wali Darmo disyahkan menjadi raja negeri atas angin.
Djoko Wali Darmo yang telah syah menjadi raja dan mempunyai kekuasaan penuh segera memecat sang patih dan punggawa lainnya yang bertindak nyeleweng yang pada zaman sekarang ini disebut koruptor.
Pnglima dan hulubalang-hulubalang yang nyeleweng dipecat dan diadili di depan pengadilan penduduk.
Pemuda-pemuda yang telah dilatih gladi perang menggantikan kedudukan prajurit dan mulai hari itu tidak ada lagi prajuruit tetap kerajaan. Wajib bela kerajaan bukan lagi prajurit tetap yang menerima upah tetap tetapi diganti oleh wahjib bela kerajaan 3 tahun sekali berganti. Jadi setiap penduduk negeri atas angin yang berumur 18 tahun sampai 40 tahun mempunyai kewajiban bela kerajaan.

Djoko Wali Darmo beserta paman-pamannya adalah orang-orang yang sangat jujur. Penduduk negeri atas angin benar-benar merasa diayomi. Tidak ada petani yang tidak mempunyai tanah.
Djoko Wali Darmo dalam sesorahnya di depan penduduk negeri menyatakan, bahwa tanah dan alam raya seisinya ini diciptakan oleh Tuhan yang maha kuasa untuk kita semua. Tuhan tidak mungkin membagikannya satu persatu kepada kita. Tetapi kita umat manusia dibekali otak agar kita bisa berfikir. Nah, kitalah yang harus menggunakan akal fikiran kita membagi semunya secara rata dan adil, Segala macam pekerjaan, membuka ladang, menggarap sawah dan segala macam pekerjaan akan lebih ringan dan sempurna jika dikerjakan dengan gotiong royong seperti kalau kita pergi berburu.
Kita berburu bersama-sama, mendapat seekor rusa, kita gotong bersama, sampai di kampung kita royong-royong (potong-potong) dan kita bagi rata untuk semua. Itulah gotong royong. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Dengan begitu semua orang akan hidup bahagia, bisa tidur nyenyak di bawah atap tak kehujananan dan kepanasan dan makan enak dan kenyang tanpa rasa kekhawatiran.
Alhsmdulillahirabbilalamin. Hidup Djoko Wali Darmo. Hidup rakyat negeri atas angin. Horeee.
“Pak, ceritanya selesai? Besok malam cerita Pancekin, Tukang Sihir Yang Jahat, ya pak. Putri Balna itu baik hati sekali.” Celetuk adikku.
“Baik, besok cerita lagi dan besok anjing kita itu kita mandikan. Kutunya banyak, jadi harus digosoki dulu pakai minyak tanah campur minyak kelapa lalu disabuni pakai sabun serai.” Kata ayahku.
“Pak, nama anjing kita siapa?” Tanya adikku Rokhmah.
“Namanya TUPON, karena kita memeliharanya mulai hari ini hari Sabtu Pon.” Jawab ayahku.
TUPON, TUPON, demikianlah nama anjing kami.

Tangerang, Minggu Kliwon 28 Januari 2007.-
--------------------------------------------------------

Minggu, 20 Desember 2009

IBUKU MENANAM JAGUNG

CERDIG 052607
CERITA IBUKU NYI DARINI RAMIDJO (2)
Oleh : Tri Ramidjo
- Ibuku menanam jagung.
Sedihkah hati ibu berada di tengah hutan belantara yang penuh dengan nyamuk dan agas? Menyesal dan putus asa karena berani memusuhi kompeni yang punya bedil? Suami setiap hari harus apel dan menebang kayu membuka hutan belukar dengan parang tumpul. Tidak, ibuku tidak pernah menyesal dan ibuku memang wanita yang sangat setia, sangat sabar dan tawakal.

Setiap hari setelah shalat subuh ibuku segera meyiapkan sarapan pagi sebab jam 7 pagi ayahku bersama teman2 interniran lainnya harus berangkat menebang kayu-kayu hutan yang besarnya audzubillah dengan alat-alat tumpul.

Ya, kepada interniran ini pemerintah Hindia Belanda memang memberikan perlengkapan2 presis seperti militer. Hanya baju dan bedil saja tidak diberikan. Alat2 seperti setriwel (putis pembungkus kaki sampai ke bawah lutut ) pun diberikan. Alat makan, alat minum semuanya terbuat dari nikel yang tidak karatan.

Makanan juga makanan militer, daging kaleng, ikan kaleng, bahkan nasi goreng dalam kaleng pun mereka terima. Kopi, susu dll juga mereka terima. Pokoknya kalau soal makanan tak akan kekurangan sebab mereka memang bukan orang buangan model orba Suharto yang harus cari makan sendiri dan bahkan memberi makan peugasa yang menjaga.

Kalau terompet pagi sudah berbunyi :
Semua laki2 harus berbaris di muka baraknya masing-masing untuk di apel. Kapten Beking masuk ke dalam barak memeriksa kelambu satu persatu masih ada yang tidur atau tidak. Semua laki2 yang sehat harus ikut berangkat ke hutan. Pendeknya tidak bisa bermalas2an, Sakit harus ke klinik dan disediakan dokter orang Belanda totok. Kesehatan sangat diperhatikan.

Sebelum apel pagi harus sudah siap makan sarapan bubur kacang hijau dan minum kopi susu. Masuk ke hutan dengan pakai sepatu militer dan dari mata kaki, betis sampai lutut dililit dengan setriwel (putis) yang biasa dipakai militer. Topinya juga topi militer. Bedanya hanya kalau militer lengkap dengan bedil dan kelewang, tapi para internir cukup dengan membawa parang tumpul.

Bayangkan, interniran sending pertama, kedua, ketiga umumnya adalah pegawai pemerintah yang biasa bekerja di kantor dan pegangannya pinsil, pena dan kertas sekarang harus bawa parang. Mengasah parang pun tidak tahu caranya.

Untunglah ayahku pernah jadi petani dan biasa hidup di pesantren di desa jadi tidak terkejut bekerja kasar dan di antara kakekku ada yang tukang kayu terkenal dan biasa membangun rumah jadi ayahku juga bisa mengerjakan pekerjaan bangunan rumah.

Pagi itu ibuku mencuci beras di kali bening yang letaknya beberapa ratus meter dari barak. Waktu mencuci beras ibuku menemukan empat butir biji jagung yang rupanya tercampur dengan beras. Biji jagung itu di ambil ibuku tapi tidak dibuang.

Dalam perjalanan pulang ibuku menanam empat butr jagung itu di tanah bekas dahan-dahan kayu yang telah dibakar. Ya, di dalam abu yang bercampur dengan tanah itulah ibuku menanamnya. Setiap hari kalau ibuku pergi ke kali bening, jagung yang ditanamnya itu dilihat.

Ya rupanya dua buah lobang dengan empat butir biji jagung itu benar-benar ditumbuhi pohon jagung. Pohon jagung itu dirawat ibuku dan tumbuh subur dan beberapa bulan kemudian benar-benar menjadi pohon jagung dan berbuah.

Ibuku benar-benar merasa gembira melihat jagung tanamannya itu. Benar, tiga bulan sudah jagung itu tumbuh dan buah jagungnya bisa dipetik.
Ibuku mengajak seorang temannya ibu Munasiah sambil membawa ceret aluminium berjalan menuju kali bening.

Ceret diisi air dan pergilah ibuku dengan ibu Munasiah memetik jagung tanaman ibuku itu. Empat buah jagung yang sedang besarnya dipetik lalu direbus di tepi kali bening. Ibuku sudah terbiasa hidup di desa di pesantren dan dalam hal membuat api dan masak-memasak bukanlah pekerjaan yang sukar.

Berdua dengan ibu Munasiah dinikmatinya rebusan jagung itu. Mereka tidak berani membawa jagung itu pulang ke barak karena takut dilihat teman-teman ibu lainnya yang tentu akan merasa iri mereka berdua bisa menikmati makan jagung.

Ibuku bergumam “Ya Allah, ampunilah aku. Aku memakan jagung ini hanya berdua dengan ibu Munasiah tak bisa membagikannya kepada ibu-ibu dan anak-anak yang lain. Jika buah jagung yang masih di pohon itu menjadi tua dan menjadi biji jagung yang banyak, aku akan menanamnya lebih banyak sehingga dapat dinikmati bersama-sama teman-teman lain.”

Ibuku menceritakan kisah ini dengan menitikkan air mata. Aku sendiri pun kalau terkenang cerita ibuku ini merasa sangat sedih dan trenyuh. Betapa besar perasaan solidaritas ibuku terhadap teman-temanya senasib yang sama-sama dibuang ke Boven Digul, untuk makan jagung saja harus sembunyi-sembunyi takut dilihat temannya dan takut melukai perasaan teman lain karena tidak dapat membagi jagung yang jumlahnya hanya beberapa buah itu.

Kok di zaman merdeka ini orang bisa dan tega makan kenyang sendiri, mengkorupsi harta kekayaan negara dan rakyat untuk dirinya sendiri ya? Apakah sudah begitu langkakah orang yang berperasaan seperti ibuku? Bukankah bukan hanya ibuku yang belajar dan mengaji di pesantren.?

Bukankah jumlah pesantren dan jumlah ustadz dan ustadzah serta ulama sekarang ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan zaman ibuku? Bukankah media cetak dan media elektronik seperti Koran, radio dan televisi jumlahnya cukup banyak dan bisa banyak membantu untuk meningkatkan mutu budi pekerti dan kecerdasan bangsaku ini?

Bungkus-bungkus makanan kecil yang sagat disukai anak-anak, bukankah bisa ditambahi tulisan misalnya “aku anak pintar, aku bisa buang sampah di tempat sampah” dan dengan membaca tulisan di bungkus-bungkus makanan tidak membuangnya bertebaran di jalanan?

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk kemajuan untuk meningkatkan manusia Indonesia dalam menyongsong hari depan. Benar kata bung Karno “nation building and character building” mutlak diperlukan.

Siapa yang mau ikut jalan fikiran kakek jompo (81 th) anak PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia) ini? Jawabnya mungkin “tidak ada” Sebab siapa yang mau terjangkiti penyakit PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia) yang lebih berbahaya dari penyakit menular lainnya seperti penyakit tbc, kusta, lepra, patek dan sejenisnya. Perinttis-perintis Kemerdekaan Indonesia atau PKI-PKI itu adalah orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan orang banyak, mementingkan rakyat banyak. Mana mungkin melakukan korupsi dan memperkaya diri sendiri. Bisa-bisa tak bisa memiliki pabrik vital sebab semua perusahaan-perusahaan vital yang memenuhi hajat hidup orang banyak menjadi milik negara dan rakyat. *****


Tangerang Sabtu Legi, 26 Mei 2007.-
------------------------------------------------

PERJALANAN KE BOVEN DIGUL

CERPEN 032607
CERITA IBUKU NYI DARINI RAMIDJO (1)
Oleh : Tri Ramidjo

Sudah sebulan lebih sejak rumahku kebanjiran dan kesehatanku sangat menurun aku menghindari duduk di depan komputer ini. Baru melihat huruf-huruf sekilas mataku berkunang-kunang dan pandangan menjadi kabur. Tekanan darahku naik turun tak menentu. Aku merasa malu, bahwa aku sebagai anak pak Kiyahi Dardiri Ramidjo (Kiyahi Anom) dan ibu Nyi Darini Ramidjo kalah oleh penyakit stroke. Padahal dibandingkan dengan usia ibuku ketika meninggal masih selisih 8 tahun. Ibuku lahir 21 Desember 1901 dan meninggal 23 Mei 1989. Dan 3 hari sebelum meninggal pun ibuku masih bisa mencuci pakaiannya sendiri dan masih bisa membikin telur-ceplok. Mengingat kegigihan ibuku ini aku bangun dan mencoba mengetik di komputer ini. Aku hanya bisa mengetik dengan jari tengah tangan kiri karena akibat stroke tangan kananku sampai hari ini belum berfungsi. Syukur alhamdulillah tangan kiriku masih bisa bergerak normal.
Apa yang akan kuketik ya?
Sekilas aku terkenang cerita ibuku dua minggu sebelum ibuku meninggal. Kami makan bersama waktu itu dan setelah selesai makan malam ibu mengatakan, bahwa ibuku bermimpi ayahku datang dan menggendong ibuku dan dibawa pergi, katanya.
Kemudian ibuku bercerita hari-hari keberangkatannya ke Boven Digul. Sayang aku tidak sempat merekamnya tapi terekam dalam ingatanku yang tak pernah terlupakan sampai hari ini.
Begini ceritanya.
Malam-malam dinihari sekitar jam setengah dua, rumah ibuku di Candi Semarang, diketuk oleh reserse polisi Ahmad dan Sanusi. “Zus, Zus, cepat bangun sekarang juga kita berangkat.” Kata reserse-reserse itu.,
“Ya, sebentar, saya berpakaian dan bersiap-siap dulu” jawab ibuku.
“Cepat zus, kapalnya akan segera berangkat. Mas Ramidjo dan teman-temannya sudah naik di kapal.” Kata reserse Sanusi.

Ibuku dan ayahku adalah saudara sepupu. Ibu ayahku adalah adik kandung ayah ibuku. Ayah ibuku namanya Kiyahi Hasan Wirogo dan ibu ayahku namanya Nyi Rugiyah mereka adalah putra putri dari Kiyahi Hasan Prawiro yang semasa hidupnya adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro dalam berperang melawan kompeni Belanda. Itulah sebabnya desa Grabag Tunggulredjo disebut desa Grabag Mutihan, daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar upeti.

Ibuku segera bersiap dan sambil menggendong aku yang masih bayi merah membetulkan kainnya. Abangku Darsono dituntun oleh reserse Sanusi tetapi karena terkantuk-kantuk lalu digendong oleh reserse Sanusi sedang kakakku Darsini digendong oleh reserse Ahmad. Ibuku berjalan cepat waktu itu. Sampai di rumah tetangga yaitu rumah oom Djaetun ibuku mau mampir untuk mengambil barang-barang keperluan termasuk pakaian yang dititipkan tapi reserse-reserse itu mengatakan tidak ada waktu lagi dan nanti takut ketinggalan kapal. Biarlah barang-barang itu akan dikirimkan kemudian.
Perjalanan dari Candi ke kantor polisi itu sangat jauh kata ibuku. Makan waktu kira-kira hampir dua jam.
“Dua jam, menggendong aku yang masih bayi umur setahun? Sungguh berdosa aku ini melelahkan ibuku, padahal kalau aku tidak lahir ke dunia ini tentu aku tidak menambah beban penderitaan ibuku. Ya, memang kalau kita berfikir dari sebab dan akibat mana ada persoalan yang selesai bukan. Baiklah aku akan berfikir yang wajar saja. Alangkah baiknya kalau aku ini tidak mengerti apa-apa dan alangkah baiknya kalau di dunia ini tidak ada apa-apa atau tidak usah ada dunia. Tentu tidak ada suka, duka dan derita. Hai Tri, kau sedang menulis kisah ibumu, jangan ngelantur melamun sendiri. Umurmu sudah 81 tahun tak seharusnya melamun seperti itu. Sudah dua bulan sejak kebanjiran kau tidak buka-buka komputer dan menulis ‘kan? Tak usah fikirkan tekanan darahmu yang tiap hari naik turun tak menentu. Teruskan saja nulis sambil menunggu giliran dipanggil pulang. Percayalah kalau sudah sampai giliranmu, pasti kau dapat panggilan, seperti antri minum pil di Tanah Merah itu lho, tunggu giliran panggilan oom Alexander Jacob Patty.”
Baik aku harus teruskan tulisanku ini.
Akhirnya ibuku sampai di kantor polisi Jomblang. Keadaan kantor itu masih sepi. Ada seorang ibu dengan dua orang anaknya. Ibu itu ibu Mastur namanya dan datang dari Ungaran.
Abangku Darsono yang digendong reserse Polisi Sanusi rupanya terus tidur nyenyak. Rupanya reserse yang gendut itu tubuhnya cukup empuk seperti kasur sehingga abangku bisa tidur pulas dan bahkan mengompoli resersi polisi gendut Sanusi itu. Hahaha ibuku tertawa.
Karena ibuku tidak membawa apa-apa dan tidak membawa pengganti pakaian maka ibuku minta tolong kepada ibu Mastur yang telah lebih dulu datang untuk meminjamkan pakaian anaknya untuk mengganti pakaian abangku yamg ngompol itu.
Setelah agak lama menunggu berdatanganlah ibu-ibu dari Suburan dan tempat2 lain sekitar Semarang. Kemudian datang 2 buah mobil polisi bercat hitam. Ibu-ibu dan anak2nya sekitar 50 orang lebih diperintahkan naik ke mobil hitam itu dan kemudian pintunya ditutup rapat. Tak bisa melihat apa-apa ke luar. Mobil dijalankan dan ketika mobil berhenti dan pintu dibuka sudah sampai di pelabuhan Semarang. Ibu-ibu yang naik mobil itu semuanya turun dan langsung naik ke motorboat yang sudah menunggu di situ.
Keadaan sekitar masih gelap dan motorboat berlayar membelah laut yang tenang. Hanya kabut putih yang terlihat. Kemudian terlihatlah benda seperti gunung kecil di tengah laut dan motorboat yang dinaiki itu menuju ke arah gunung itu. Setelah dekat barulah terlihat jelas, bahwa itu adalah kapal perang KRUISER JAVA.
Menurut ibuku pemerintah Hindia Belanda waktu itu hanya mempunyai 2 kapal perang yaitu KRUISER JAVA dan KRUISER SUMATRA. Lainnya adalah kapal-kapal perang kecil seperti SEVEN PROVINCIEN, VAN HALEN dan beberapa kapal kecil lainnya. Juga ada beberapa kapal putih, yang dimaksud dengan kapal putih ini ialah kapal setengah marinir seperti FOLMAHOUT, ALBATROS. RHUMPHIUS dan entah apa lagi. Kapal2 putih inilah yang setiap bulan (sebulan sekali) bergantian datang ke Tanah Merah Digul mengangkut bahan pangan.
Setelah motorboat merapat ke kapal perang itu tangga diturunkan dan penumpang motorboat yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak dinaikkan ke geladak Kruiser Java. Dapat dibayangkan betapa sulitnya ibu2 yang berkain panjang itu menaiki tangga kapal. Tetapi marinir2 Belanda totok itu dengan tangkas menggendong ibu-ibu dan anak2 menaiki tangga dan naik ke geladak kapal. Marini-marinir itu berlaku sangat baik dan ramah walaupun tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Kemudian ibu2 dan anak2 ini ditempatkan di ruangan yang cukup besar berlantai marmer. Dan tak lama kemudian dihidangkan makanan dan minuman air susu coklat. Makanan yang dihidangkan cukup baik yaitu makanan yang diperuntukkan para marinir dan tentu saja jauh berbeda dengan makankan tapol di RTC-SALEMBA atau Pulau Buru.
Kapal pun mulai berlayar dan itu terjadi pada tanggal 12 Maret 1927.
Dalam pelayaran itu ibuku dan teman2nya tidak ada yang mabuk laut karena kapal yang dinaiki cukup besar dan tidak terombang ambing gelombong.
Di ruangan kapal itu sangat panas mungkin karena ruangan itu berada di dekat kamar mesin.
Bagaimana ibuku tidur? Tentu saja tidur bergeletakan di lantai kapal yang bersih. Dan tentu saja dengan leluasa pergi ke kamar kecil (wc) untuk membuang hajat tidak seperti kapal yang dinaiki tapol waktu dikirim ke pulau Buru.
Ya, kata ibuku pelayanan di kapal perang itu jauh lebih baik kalau dibandingkan dengan kapal penumpang dek di KPM.
Ibuku diwaktu kecil sering berlayar mengikuti kakekku dan bahkan pernah ke Pulau Lombok ke kota Praya. Kakekku ayah ibuku (Kiyahi Hasan Wirogo) dalam melakukan siar agama pergi kemana-mana dan yang terakhir ke daerah Lampung-Sumatra dan hilang lenyap tidak diketemukan jasadnya di Sungai Mesuji atau Sungai Tulang Bawang, Lampung. Konon ceritanya kakekku yang sangat mahir berenang itu menyeberangi sungai Tulang Bawang dengan berenang dan terbawa arus sungai yang deras.
Dalam pelayaran itu ibu-ibu itu mendapat sabun cuci dan sabun mandi tetapi bagaimana mandi dengan air di keran-keran kapal yang airnya air laut dan asin itu? Untuk ibu2 itu setiap orang hanya mendapat air tawar satu wastafel. Sebenarnya untuk marinir yang orang Belanda itu, Satu wastafel sudah cukup untuk membersihkan diri, tapi bagi ibu2 yang belum pernah berlayar yang tidak biasa menghemat pemakaian air tentu saja terasa sangat jauh dari mencukupi, apalagi untuk mencuci. Dengan air laut yang asin tentu saja memakai sabun yang sangat baik pun tidak akan berbusa.
Ibuku dengan memakai air tawar seperlunya dan kemudian dibilas dengar air keran yang dari air laut bisa mencuci bersih dan sabunnya bisa bekerja aktif. Pengetahuan sederhana ini diajarkan kepada teman2 ibu-ibu lainnya.
Dalam pelayaran itu ibuku tidak membawa peralatan sembahyang tetapi ibuku tetap melakukan sembahyang menurut apa adanya apalagi di ruangan itu tidak ada kaum pria kecuali ibu-ibu dan anak-anak.
Ya, ibuku yang sejak kecil hidup di pondok pesantren itu sangat taat menunaikan ibadahnya sehingga waktu yang sedikit saja terluang pasti digunakannya untuk berzikir. Ibuku memang orang yang sangat sabar, tidak pernah marah dan selalu bersikap halus dan ramah kepada siapa saja. Aku merasakan sejak kecil hingga dewasa belum pernah aku dimarahi atau dibentak oleh ibuku ataupun ayahku. Ayahku dan ibuku benar2 orang yang memegang teguh ajaran alqur’an bukan hanya dalam kata2 tetapi juga dalam perbuatannya sehari-hari. Aku sungguh iri dan ingin menirunya tetapi aku yang pemarah ini masih juga belum berhasil mengendalikan diri seperti ibu dan ayahku. Terkadang aku malu sendiri, mengapa sebagai anaknya bapak dan ibu Ramidjo tak bisa meniru mereka.

Pada tanggal 18 Maret 1927 yaitu enam hari setelah berlayar, KRUISER JAVA melego jangkarnya untuk berlabuh di tengah laut. Rupanya kapal perang itu sudah sampai di laut Banda. Ibu-ibu diperintahkan untuk berpakaian rapi dan kemudian naik ke geladak kapal. Rupanya di geladak telah menunggu para suami ibu-ibu itu. Sungguh suatu pertemuan keluarga yang penuh gembira dan mengharukan. Abangku Darsono dan kakakku Darsini segera menghamnbur memeluk ayahku dan minta gendong. Dan aku sendiri? Tentu saja aku belum bisa apa-apa dan hanya didekap erat ibuku yang mulutnya komat-kamit memuji Allah yang maha besar dengan ucapan Subhannallah, alhamdulillah, walaillahaillallahuallahuakbar tak henti-hentinya. Ya, di dalam suka dan duka ibuku memang tak pernah lupa kepada Allah dan ketika ibuku menghembuskan nafasnya yang terakhir pun masih memegang erat tasbih yang selalu berada di tangannya. Ya, kukira jarang sekali mendapatkan seorang muslim seperti ibuku yang tak pernah mengeluh, berbohong dan marah dan berserah dirinya kepada Allah benar-benar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Yang sangat mengharukan menurut cerita ibuku adalah pertemuan oom Ali yang juga dari Semarang dengan isterinya. Oom Ali dan isterinya ini adalah pemuda-pemudi pengantin baru yang belum genap seminggu menikah.
Kepada mereka yang sudah berada di geladak kapal itu dibagikan kapas. Untuk apa kapas itu. O, rupanya untuk penyumbat telinga sebab marinir2 itu akan mengadakan latihan tembak.
Sasaran tembak yang menyerupai perahu layar diturunkan dari kapal perang dan kemudian ditarik dengan motorboat pada jarak yang sangat jauh. Motorboat kembali ke kapal perang dan sasaran tembak yang berada sangat jauh itu layarnya di tembak dengan meriam. Latihan tembak itu berlangsung dari jam 4 sore sampai jam 8 malam dan ketika hari mulai gelap sasaran tembak itu disorot dengan cahya senter jarak jauh yang sangat terang.
Astagfirullah gumam ibuku berulang-ulang, mengapa kafir-kafir ini melakukan pekerjaan yang merugi. Bukankah daripada untuk membeli peluru meriam lebih baik uangnya dibagikan kepada fakir miskin atau untuk membangun fabrik2 supaya semua orang bisa bekerja dan mendapat nafkah untuk hidupnya? Dasar kafir tidak tahu arti hidup dan kerjanya hanya merusak. Ibuku menitikkan airmata.
“Bu Ramidjo, mengapa menangis? Bukankah tontonan ini sangat mengasyikkan?” Tanya seorang ibu di sebelah ibuku.
“Maaf, saya sedih mengapa kafir-kafir itu menghambur2kan uang. Bukankankah rakyat kita banyak yang menderita? Bukankah daripada untuk beli peluru meriam uangnya lebih baik untuk mengenyangkan perut rakyat? Kita memang harus mengusir kafir2 itu dari bumi tanah air kita. Saya tidak suka meriam yang gunanya hanya untuk membunuh dan merusak. Buat apa bunuh-membunuh sesama umat manusia. Astagfirullah…….”, jawab ibuku.
“Sabar zus, kita ini jadi orang buangan dan pengalaman apa lagi yang kita temui nanti.” Kata ibu itu.
Setelah jam 8 malam latihan tembak itu berhenti dan ibu-ibu Dan anak2 kembali ke ruangan semula. Para bapak2 juga kembali ke tempatnya semula, jadi mereka terpisah lagi dengan keluarganya.
Latihan perang2an itu berlangsung 2 malam yaitu tanggal 18 dan 19 Maret 1927 dan kemudian meneruskan pelayarannya.
Pada tanggal 20 Maret 1927 jam 8 pagi Kruiser Java berhenti dan berlabuh menurunkan jangkarnya di dekat pulau Friderik Hendrik.
Dan pada jam 9 pagi luitenant Dreyher yang datang dengan kapal putih Fomalhout naik ke Kruiser Java untuk menerima orang2 buangan yang kemudian jam 2 siang dipindahkan ke kapal Fomalhout meneruskan pelayaran ke Tanah Merah Boven Digul.
Tiga hari tiga malam dengan menaiki kapal Fomalhout berlayar di sungai yang lebar dan dalam sungai Digul dan akhirnya pada tanggal 23 Maret 1927 jam 10 pagi kapal berlabuh di tepian sebelah timur Sungai Digul di kota kecil yang belum menjadi kota tapi masih hutan belantara, Tanah Merah.

Setelah sampai di Tanah Merah rombongan interniran itu naik ke darat tepian sungai Digul sebelah timur. Di tempat itu sudah berdiri 12 atau 13 barak. Barak2 itu sudah ada yang berisi rombongn interniran pertama yaitu rombongan pak Ali Archam, Budi Soetjitro dkk.
Keluarga ibuku dan teman2nya ditempatkan di barak nomor 5. Barak itu beratap rumbia dan dindingnya perlak militer berwarna hijau yang hanya digantungkan saja dan berkibar2 kalau ditiup angin. Siang hari tetapi nyamuk dan agas banyak sekali dan nyamuk2 ini langsung menyambut megucapkan terima kasih dan selamat datang dengan gigitannya yang cukup gatal.
Kepada setiap orang dibagikan kelambu militer. Kelambu2 itu terbuat dari kain paris ti[pis tetapi cukup kuat tetapi kelambu itu kelambu kecil untuk satu orang. Keluarga ibuku mendapat empat kelambu dan oleh ibuku kelambu itu didedel dan dijahit menjadi satu kelambu besar sehingga kami sekeluarga bisa tidur dalam satu kelambu.
Bagaimana lantai barak itu? Tentu saja lantainya tanah yang masih lembab karena tempat itu adalah daerah rawa. Kayu-kayu gelundungan yang besarnya lebih besar dari pohon kelapa, itulah yang dijadikan pangkeng tempat tidur.
Jadi para interniran itu tidur di atas pangkeng kayu2 gelundungan. Yang membawa tikar atau kasur bisa menggelarnya di atas pangkeng kayu2 gelundungan itu, tetapi keluarga ibuku yang tidak sempat membawa apa2 terpaksa meminjam kain panjang kepada teman2 untuk alas tidur. Dapat dibayangkan betapa sakitnya punggung yang tidur di atas kayu gelundungan itu.
Barak itu sangat panjang kira2 50 meter dan para keluarga buangan itu membagi kaveling pangkeng tempat tidur kayu gelundungan itu dengan menggantungkan kain panjang atau kain apa saja sebagai batas tempat tidur keluarga masing2. Karena tidak ada dinding dan hanya berbataskan kain panjang maka anak2 bisa saja bludusan ke kaveling keluarga orang lain.
Di bawah pangkeng kayu2 gelundungan itu tentu saja penuh dengan serangngga macam2. Ada jengkerik, kelabang, kalajengking dan mungkin juga ular dan ular yang sangat berbisa di Tanah Merah adalah ular kaki empat yang mirip kadal warnanya hitam kecoklat2an dan kepalanya berbentuk segitiga.
Pernah tetangga kaveling ibuku yang anaknya namanya Pandji di pagi hari ketika bangun rambutnya tidak karuan kepalanya menjadi setengah gundul karena di malam hari rambutnya dikerikiti jangkerik.
Para interniran (orang buangan) sebulan lamanya membersihkan sekeliling barak, membakari pohon-pohon dan ranting-ranting bekas tebangan dan bagi interniran yang tidak terbiasa bekerja kasar tentu saja merupakan siksaan yang luar biasa.
Di suatu hari di pagi hari setelah bangun kakakku Darsini bermain dengan teman2nya di halaman barak. Ada unggukan abu bekas membakar dahan dan ranting2 pohon. Kakakku yang baru berumur 4 tahun itu bermain lari-larianan dan menginjak gundukan abu yang rupanya dibawah abu yang putih itu bara apinya masih menyala. Kedua kaki kakakku Darsini terbakar bara menyala. Untunglah ayahku sangat telaten. Setiap hari kaki kakakku yang dua2nya terbakar itu dijilati ayahku dan diobati dengan minyak bulus (kura-kura) dan untuk memisahkan jari-jari kaki yang lonyoh itu dibelek dengan silet setiap hari. Aku tak dapat membayangkan betapa sakitnya dan betapa pedihnya perasaan hati ayah ibuku mengalami derita itu. Untunglah ayah dan ibuku orang yang sejak kecil belajar di pesantren dan jiwanya sangat teguh dan tidak pernah lupa memuji kebesaran Allah.
Bagaimana dengan makanan orang buangan?
Apakah mereka terus menerus tinggal di barak?
Bagaimana menjadikan Tanah Merah perkampumgan yang sangat teratur?
Setiap orang mendapat onderstand f.12,60 s/d tahun 1929?
Bagaimana pengaruh krisis ekonomi (malaise) di tahun-tahun itu?
Masih banyak lagi cerita2 ibuku yang perlu kuceritakan kembali dan kutulis.
Sudah banyak buku-buku tentang Digul tapi juga ada yang ceritanya berlebihan, menggambarkan seakan-akan orang buangan ditempatkan di kelder-kelder dan kamp tahanan berpagar kawat berduri dan lain-lain yang sangat menyeramkan.
Tidak. Digul tidak seperti itu. Tidak ada pagar kawat berduri. Tidak ada penjagaan ketat seperti tahanan orba pulau Buru. Tidak ada penjara. Belanda tidak sekejam Suharto dan masih punya rasa peri kemanusiaan.
Aku yang sejak bayi sampai umur 14 tahun tinggal di Tanah Merah Digul masih bisa bercerita apa adanya menurut kacamata anak2.
Cerita ibuku akan kulanjutkan kalau kesehatanku membaik. Aku akan tulis apa yang masih kuingat walaupun orang sudah tidak mau lagi mendengar tentang Digul sebab Digul menurut orba memang tidak ada. Menurut orba kemerdekaan negeri ini datang bukan karena perjuangan. Menurut orba Suharto tidak diperjuangkan pun kemerdekaan itu akan datang, Apa benar begitu, ya?
Selamat tidur dan terimakasih kepada teman yang mau buang waktu membaca tulisan ini.
Sekian dulu.

Tangerang, Senin Pahing 26 Maret 2007.
------------------------------------------------------