Minggu, 20 Desember 2009

IBUKU MENANAM JAGUNG

CERDIG 052607
CERITA IBUKU NYI DARINI RAMIDJO (2)
Oleh : Tri Ramidjo
- Ibuku menanam jagung.
Sedihkah hati ibu berada di tengah hutan belantara yang penuh dengan nyamuk dan agas? Menyesal dan putus asa karena berani memusuhi kompeni yang punya bedil? Suami setiap hari harus apel dan menebang kayu membuka hutan belukar dengan parang tumpul. Tidak, ibuku tidak pernah menyesal dan ibuku memang wanita yang sangat setia, sangat sabar dan tawakal.

Setiap hari setelah shalat subuh ibuku segera meyiapkan sarapan pagi sebab jam 7 pagi ayahku bersama teman2 interniran lainnya harus berangkat menebang kayu-kayu hutan yang besarnya audzubillah dengan alat-alat tumpul.

Ya, kepada interniran ini pemerintah Hindia Belanda memang memberikan perlengkapan2 presis seperti militer. Hanya baju dan bedil saja tidak diberikan. Alat2 seperti setriwel (putis pembungkus kaki sampai ke bawah lutut ) pun diberikan. Alat makan, alat minum semuanya terbuat dari nikel yang tidak karatan.

Makanan juga makanan militer, daging kaleng, ikan kaleng, bahkan nasi goreng dalam kaleng pun mereka terima. Kopi, susu dll juga mereka terima. Pokoknya kalau soal makanan tak akan kekurangan sebab mereka memang bukan orang buangan model orba Suharto yang harus cari makan sendiri dan bahkan memberi makan peugasa yang menjaga.

Kalau terompet pagi sudah berbunyi :
Semua laki2 harus berbaris di muka baraknya masing-masing untuk di apel. Kapten Beking masuk ke dalam barak memeriksa kelambu satu persatu masih ada yang tidur atau tidak. Semua laki2 yang sehat harus ikut berangkat ke hutan. Pendeknya tidak bisa bermalas2an, Sakit harus ke klinik dan disediakan dokter orang Belanda totok. Kesehatan sangat diperhatikan.

Sebelum apel pagi harus sudah siap makan sarapan bubur kacang hijau dan minum kopi susu. Masuk ke hutan dengan pakai sepatu militer dan dari mata kaki, betis sampai lutut dililit dengan setriwel (putis) yang biasa dipakai militer. Topinya juga topi militer. Bedanya hanya kalau militer lengkap dengan bedil dan kelewang, tapi para internir cukup dengan membawa parang tumpul.

Bayangkan, interniran sending pertama, kedua, ketiga umumnya adalah pegawai pemerintah yang biasa bekerja di kantor dan pegangannya pinsil, pena dan kertas sekarang harus bawa parang. Mengasah parang pun tidak tahu caranya.

Untunglah ayahku pernah jadi petani dan biasa hidup di pesantren di desa jadi tidak terkejut bekerja kasar dan di antara kakekku ada yang tukang kayu terkenal dan biasa membangun rumah jadi ayahku juga bisa mengerjakan pekerjaan bangunan rumah.

Pagi itu ibuku mencuci beras di kali bening yang letaknya beberapa ratus meter dari barak. Waktu mencuci beras ibuku menemukan empat butir biji jagung yang rupanya tercampur dengan beras. Biji jagung itu di ambil ibuku tapi tidak dibuang.

Dalam perjalanan pulang ibuku menanam empat butr jagung itu di tanah bekas dahan-dahan kayu yang telah dibakar. Ya, di dalam abu yang bercampur dengan tanah itulah ibuku menanamnya. Setiap hari kalau ibuku pergi ke kali bening, jagung yang ditanamnya itu dilihat.

Ya rupanya dua buah lobang dengan empat butir biji jagung itu benar-benar ditumbuhi pohon jagung. Pohon jagung itu dirawat ibuku dan tumbuh subur dan beberapa bulan kemudian benar-benar menjadi pohon jagung dan berbuah.

Ibuku benar-benar merasa gembira melihat jagung tanamannya itu. Benar, tiga bulan sudah jagung itu tumbuh dan buah jagungnya bisa dipetik.
Ibuku mengajak seorang temannya ibu Munasiah sambil membawa ceret aluminium berjalan menuju kali bening.

Ceret diisi air dan pergilah ibuku dengan ibu Munasiah memetik jagung tanaman ibuku itu. Empat buah jagung yang sedang besarnya dipetik lalu direbus di tepi kali bening. Ibuku sudah terbiasa hidup di desa di pesantren dan dalam hal membuat api dan masak-memasak bukanlah pekerjaan yang sukar.

Berdua dengan ibu Munasiah dinikmatinya rebusan jagung itu. Mereka tidak berani membawa jagung itu pulang ke barak karena takut dilihat teman-teman ibu lainnya yang tentu akan merasa iri mereka berdua bisa menikmati makan jagung.

Ibuku bergumam “Ya Allah, ampunilah aku. Aku memakan jagung ini hanya berdua dengan ibu Munasiah tak bisa membagikannya kepada ibu-ibu dan anak-anak yang lain. Jika buah jagung yang masih di pohon itu menjadi tua dan menjadi biji jagung yang banyak, aku akan menanamnya lebih banyak sehingga dapat dinikmati bersama-sama teman-teman lain.”

Ibuku menceritakan kisah ini dengan menitikkan air mata. Aku sendiri pun kalau terkenang cerita ibuku ini merasa sangat sedih dan trenyuh. Betapa besar perasaan solidaritas ibuku terhadap teman-temanya senasib yang sama-sama dibuang ke Boven Digul, untuk makan jagung saja harus sembunyi-sembunyi takut dilihat temannya dan takut melukai perasaan teman lain karena tidak dapat membagi jagung yang jumlahnya hanya beberapa buah itu.

Kok di zaman merdeka ini orang bisa dan tega makan kenyang sendiri, mengkorupsi harta kekayaan negara dan rakyat untuk dirinya sendiri ya? Apakah sudah begitu langkakah orang yang berperasaan seperti ibuku? Bukankah bukan hanya ibuku yang belajar dan mengaji di pesantren.?

Bukankah jumlah pesantren dan jumlah ustadz dan ustadzah serta ulama sekarang ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan zaman ibuku? Bukankah media cetak dan media elektronik seperti Koran, radio dan televisi jumlahnya cukup banyak dan bisa banyak membantu untuk meningkatkan mutu budi pekerti dan kecerdasan bangsaku ini?

Bungkus-bungkus makanan kecil yang sagat disukai anak-anak, bukankah bisa ditambahi tulisan misalnya “aku anak pintar, aku bisa buang sampah di tempat sampah” dan dengan membaca tulisan di bungkus-bungkus makanan tidak membuangnya bertebaran di jalanan?

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk kemajuan untuk meningkatkan manusia Indonesia dalam menyongsong hari depan. Benar kata bung Karno “nation building and character building” mutlak diperlukan.

Siapa yang mau ikut jalan fikiran kakek jompo (81 th) anak PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia) ini? Jawabnya mungkin “tidak ada” Sebab siapa yang mau terjangkiti penyakit PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia) yang lebih berbahaya dari penyakit menular lainnya seperti penyakit tbc, kusta, lepra, patek dan sejenisnya. Perinttis-perintis Kemerdekaan Indonesia atau PKI-PKI itu adalah orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan orang banyak, mementingkan rakyat banyak. Mana mungkin melakukan korupsi dan memperkaya diri sendiri. Bisa-bisa tak bisa memiliki pabrik vital sebab semua perusahaan-perusahaan vital yang memenuhi hajat hidup orang banyak menjadi milik negara dan rakyat. *****


Tangerang Sabtu Legi, 26 Mei 2007.-
------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar