Minggu, 20 Desember 2009

IBUKU MENANAM JAGUNG

CERDIG 052607
CERITA IBUKU NYI DARINI RAMIDJO (2)
Oleh : Tri Ramidjo
- Ibuku menanam jagung.
Sedihkah hati ibu berada di tengah hutan belantara yang penuh dengan nyamuk dan agas? Menyesal dan putus asa karena berani memusuhi kompeni yang punya bedil? Suami setiap hari harus apel dan menebang kayu membuka hutan belukar dengan parang tumpul. Tidak, ibuku tidak pernah menyesal dan ibuku memang wanita yang sangat setia, sangat sabar dan tawakal.

Setiap hari setelah shalat subuh ibuku segera meyiapkan sarapan pagi sebab jam 7 pagi ayahku bersama teman2 interniran lainnya harus berangkat menebang kayu-kayu hutan yang besarnya audzubillah dengan alat-alat tumpul.

Ya, kepada interniran ini pemerintah Hindia Belanda memang memberikan perlengkapan2 presis seperti militer. Hanya baju dan bedil saja tidak diberikan. Alat2 seperti setriwel (putis pembungkus kaki sampai ke bawah lutut ) pun diberikan. Alat makan, alat minum semuanya terbuat dari nikel yang tidak karatan.

Makanan juga makanan militer, daging kaleng, ikan kaleng, bahkan nasi goreng dalam kaleng pun mereka terima. Kopi, susu dll juga mereka terima. Pokoknya kalau soal makanan tak akan kekurangan sebab mereka memang bukan orang buangan model orba Suharto yang harus cari makan sendiri dan bahkan memberi makan peugasa yang menjaga.

Kalau terompet pagi sudah berbunyi :
Semua laki2 harus berbaris di muka baraknya masing-masing untuk di apel. Kapten Beking masuk ke dalam barak memeriksa kelambu satu persatu masih ada yang tidur atau tidak. Semua laki2 yang sehat harus ikut berangkat ke hutan. Pendeknya tidak bisa bermalas2an, Sakit harus ke klinik dan disediakan dokter orang Belanda totok. Kesehatan sangat diperhatikan.

Sebelum apel pagi harus sudah siap makan sarapan bubur kacang hijau dan minum kopi susu. Masuk ke hutan dengan pakai sepatu militer dan dari mata kaki, betis sampai lutut dililit dengan setriwel (putis) yang biasa dipakai militer. Topinya juga topi militer. Bedanya hanya kalau militer lengkap dengan bedil dan kelewang, tapi para internir cukup dengan membawa parang tumpul.

Bayangkan, interniran sending pertama, kedua, ketiga umumnya adalah pegawai pemerintah yang biasa bekerja di kantor dan pegangannya pinsil, pena dan kertas sekarang harus bawa parang. Mengasah parang pun tidak tahu caranya.

Untunglah ayahku pernah jadi petani dan biasa hidup di pesantren di desa jadi tidak terkejut bekerja kasar dan di antara kakekku ada yang tukang kayu terkenal dan biasa membangun rumah jadi ayahku juga bisa mengerjakan pekerjaan bangunan rumah.

Pagi itu ibuku mencuci beras di kali bening yang letaknya beberapa ratus meter dari barak. Waktu mencuci beras ibuku menemukan empat butir biji jagung yang rupanya tercampur dengan beras. Biji jagung itu di ambil ibuku tapi tidak dibuang.

Dalam perjalanan pulang ibuku menanam empat butr jagung itu di tanah bekas dahan-dahan kayu yang telah dibakar. Ya, di dalam abu yang bercampur dengan tanah itulah ibuku menanamnya. Setiap hari kalau ibuku pergi ke kali bening, jagung yang ditanamnya itu dilihat.

Ya rupanya dua buah lobang dengan empat butir biji jagung itu benar-benar ditumbuhi pohon jagung. Pohon jagung itu dirawat ibuku dan tumbuh subur dan beberapa bulan kemudian benar-benar menjadi pohon jagung dan berbuah.

Ibuku benar-benar merasa gembira melihat jagung tanamannya itu. Benar, tiga bulan sudah jagung itu tumbuh dan buah jagungnya bisa dipetik.
Ibuku mengajak seorang temannya ibu Munasiah sambil membawa ceret aluminium berjalan menuju kali bening.

Ceret diisi air dan pergilah ibuku dengan ibu Munasiah memetik jagung tanaman ibuku itu. Empat buah jagung yang sedang besarnya dipetik lalu direbus di tepi kali bening. Ibuku sudah terbiasa hidup di desa di pesantren dan dalam hal membuat api dan masak-memasak bukanlah pekerjaan yang sukar.

Berdua dengan ibu Munasiah dinikmatinya rebusan jagung itu. Mereka tidak berani membawa jagung itu pulang ke barak karena takut dilihat teman-teman ibu lainnya yang tentu akan merasa iri mereka berdua bisa menikmati makan jagung.

Ibuku bergumam “Ya Allah, ampunilah aku. Aku memakan jagung ini hanya berdua dengan ibu Munasiah tak bisa membagikannya kepada ibu-ibu dan anak-anak yang lain. Jika buah jagung yang masih di pohon itu menjadi tua dan menjadi biji jagung yang banyak, aku akan menanamnya lebih banyak sehingga dapat dinikmati bersama-sama teman-teman lain.”

Ibuku menceritakan kisah ini dengan menitikkan air mata. Aku sendiri pun kalau terkenang cerita ibuku ini merasa sangat sedih dan trenyuh. Betapa besar perasaan solidaritas ibuku terhadap teman-temanya senasib yang sama-sama dibuang ke Boven Digul, untuk makan jagung saja harus sembunyi-sembunyi takut dilihat temannya dan takut melukai perasaan teman lain karena tidak dapat membagi jagung yang jumlahnya hanya beberapa buah itu.

Kok di zaman merdeka ini orang bisa dan tega makan kenyang sendiri, mengkorupsi harta kekayaan negara dan rakyat untuk dirinya sendiri ya? Apakah sudah begitu langkakah orang yang berperasaan seperti ibuku? Bukankah bukan hanya ibuku yang belajar dan mengaji di pesantren.?

Bukankah jumlah pesantren dan jumlah ustadz dan ustadzah serta ulama sekarang ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan zaman ibuku? Bukankah media cetak dan media elektronik seperti Koran, radio dan televisi jumlahnya cukup banyak dan bisa banyak membantu untuk meningkatkan mutu budi pekerti dan kecerdasan bangsaku ini?

Bungkus-bungkus makanan kecil yang sagat disukai anak-anak, bukankah bisa ditambahi tulisan misalnya “aku anak pintar, aku bisa buang sampah di tempat sampah” dan dengan membaca tulisan di bungkus-bungkus makanan tidak membuangnya bertebaran di jalanan?

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk kemajuan untuk meningkatkan manusia Indonesia dalam menyongsong hari depan. Benar kata bung Karno “nation building and character building” mutlak diperlukan.

Siapa yang mau ikut jalan fikiran kakek jompo (81 th) anak PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia) ini? Jawabnya mungkin “tidak ada” Sebab siapa yang mau terjangkiti penyakit PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia) yang lebih berbahaya dari penyakit menular lainnya seperti penyakit tbc, kusta, lepra, patek dan sejenisnya. Perinttis-perintis Kemerdekaan Indonesia atau PKI-PKI itu adalah orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan orang banyak, mementingkan rakyat banyak. Mana mungkin melakukan korupsi dan memperkaya diri sendiri. Bisa-bisa tak bisa memiliki pabrik vital sebab semua perusahaan-perusahaan vital yang memenuhi hajat hidup orang banyak menjadi milik negara dan rakyat. *****


Tangerang Sabtu Legi, 26 Mei 2007.-
------------------------------------------------

PERJALANAN KE BOVEN DIGUL

CERPEN 032607
CERITA IBUKU NYI DARINI RAMIDJO (1)
Oleh : Tri Ramidjo

Sudah sebulan lebih sejak rumahku kebanjiran dan kesehatanku sangat menurun aku menghindari duduk di depan komputer ini. Baru melihat huruf-huruf sekilas mataku berkunang-kunang dan pandangan menjadi kabur. Tekanan darahku naik turun tak menentu. Aku merasa malu, bahwa aku sebagai anak pak Kiyahi Dardiri Ramidjo (Kiyahi Anom) dan ibu Nyi Darini Ramidjo kalah oleh penyakit stroke. Padahal dibandingkan dengan usia ibuku ketika meninggal masih selisih 8 tahun. Ibuku lahir 21 Desember 1901 dan meninggal 23 Mei 1989. Dan 3 hari sebelum meninggal pun ibuku masih bisa mencuci pakaiannya sendiri dan masih bisa membikin telur-ceplok. Mengingat kegigihan ibuku ini aku bangun dan mencoba mengetik di komputer ini. Aku hanya bisa mengetik dengan jari tengah tangan kiri karena akibat stroke tangan kananku sampai hari ini belum berfungsi. Syukur alhamdulillah tangan kiriku masih bisa bergerak normal.
Apa yang akan kuketik ya?
Sekilas aku terkenang cerita ibuku dua minggu sebelum ibuku meninggal. Kami makan bersama waktu itu dan setelah selesai makan malam ibu mengatakan, bahwa ibuku bermimpi ayahku datang dan menggendong ibuku dan dibawa pergi, katanya.
Kemudian ibuku bercerita hari-hari keberangkatannya ke Boven Digul. Sayang aku tidak sempat merekamnya tapi terekam dalam ingatanku yang tak pernah terlupakan sampai hari ini.
Begini ceritanya.
Malam-malam dinihari sekitar jam setengah dua, rumah ibuku di Candi Semarang, diketuk oleh reserse polisi Ahmad dan Sanusi. “Zus, Zus, cepat bangun sekarang juga kita berangkat.” Kata reserse-reserse itu.,
“Ya, sebentar, saya berpakaian dan bersiap-siap dulu” jawab ibuku.
“Cepat zus, kapalnya akan segera berangkat. Mas Ramidjo dan teman-temannya sudah naik di kapal.” Kata reserse Sanusi.

Ibuku dan ayahku adalah saudara sepupu. Ibu ayahku adalah adik kandung ayah ibuku. Ayah ibuku namanya Kiyahi Hasan Wirogo dan ibu ayahku namanya Nyi Rugiyah mereka adalah putra putri dari Kiyahi Hasan Prawiro yang semasa hidupnya adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro dalam berperang melawan kompeni Belanda. Itulah sebabnya desa Grabag Tunggulredjo disebut desa Grabag Mutihan, daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar upeti.

Ibuku segera bersiap dan sambil menggendong aku yang masih bayi merah membetulkan kainnya. Abangku Darsono dituntun oleh reserse Sanusi tetapi karena terkantuk-kantuk lalu digendong oleh reserse Sanusi sedang kakakku Darsini digendong oleh reserse Ahmad. Ibuku berjalan cepat waktu itu. Sampai di rumah tetangga yaitu rumah oom Djaetun ibuku mau mampir untuk mengambil barang-barang keperluan termasuk pakaian yang dititipkan tapi reserse-reserse itu mengatakan tidak ada waktu lagi dan nanti takut ketinggalan kapal. Biarlah barang-barang itu akan dikirimkan kemudian.
Perjalanan dari Candi ke kantor polisi itu sangat jauh kata ibuku. Makan waktu kira-kira hampir dua jam.
“Dua jam, menggendong aku yang masih bayi umur setahun? Sungguh berdosa aku ini melelahkan ibuku, padahal kalau aku tidak lahir ke dunia ini tentu aku tidak menambah beban penderitaan ibuku. Ya, memang kalau kita berfikir dari sebab dan akibat mana ada persoalan yang selesai bukan. Baiklah aku akan berfikir yang wajar saja. Alangkah baiknya kalau aku ini tidak mengerti apa-apa dan alangkah baiknya kalau di dunia ini tidak ada apa-apa atau tidak usah ada dunia. Tentu tidak ada suka, duka dan derita. Hai Tri, kau sedang menulis kisah ibumu, jangan ngelantur melamun sendiri. Umurmu sudah 81 tahun tak seharusnya melamun seperti itu. Sudah dua bulan sejak kebanjiran kau tidak buka-buka komputer dan menulis ‘kan? Tak usah fikirkan tekanan darahmu yang tiap hari naik turun tak menentu. Teruskan saja nulis sambil menunggu giliran dipanggil pulang. Percayalah kalau sudah sampai giliranmu, pasti kau dapat panggilan, seperti antri minum pil di Tanah Merah itu lho, tunggu giliran panggilan oom Alexander Jacob Patty.”
Baik aku harus teruskan tulisanku ini.
Akhirnya ibuku sampai di kantor polisi Jomblang. Keadaan kantor itu masih sepi. Ada seorang ibu dengan dua orang anaknya. Ibu itu ibu Mastur namanya dan datang dari Ungaran.
Abangku Darsono yang digendong reserse Polisi Sanusi rupanya terus tidur nyenyak. Rupanya reserse yang gendut itu tubuhnya cukup empuk seperti kasur sehingga abangku bisa tidur pulas dan bahkan mengompoli resersi polisi gendut Sanusi itu. Hahaha ibuku tertawa.
Karena ibuku tidak membawa apa-apa dan tidak membawa pengganti pakaian maka ibuku minta tolong kepada ibu Mastur yang telah lebih dulu datang untuk meminjamkan pakaian anaknya untuk mengganti pakaian abangku yamg ngompol itu.
Setelah agak lama menunggu berdatanganlah ibu-ibu dari Suburan dan tempat2 lain sekitar Semarang. Kemudian datang 2 buah mobil polisi bercat hitam. Ibu-ibu dan anak2nya sekitar 50 orang lebih diperintahkan naik ke mobil hitam itu dan kemudian pintunya ditutup rapat. Tak bisa melihat apa-apa ke luar. Mobil dijalankan dan ketika mobil berhenti dan pintu dibuka sudah sampai di pelabuhan Semarang. Ibu-ibu yang naik mobil itu semuanya turun dan langsung naik ke motorboat yang sudah menunggu di situ.
Keadaan sekitar masih gelap dan motorboat berlayar membelah laut yang tenang. Hanya kabut putih yang terlihat. Kemudian terlihatlah benda seperti gunung kecil di tengah laut dan motorboat yang dinaiki itu menuju ke arah gunung itu. Setelah dekat barulah terlihat jelas, bahwa itu adalah kapal perang KRUISER JAVA.
Menurut ibuku pemerintah Hindia Belanda waktu itu hanya mempunyai 2 kapal perang yaitu KRUISER JAVA dan KRUISER SUMATRA. Lainnya adalah kapal-kapal perang kecil seperti SEVEN PROVINCIEN, VAN HALEN dan beberapa kapal kecil lainnya. Juga ada beberapa kapal putih, yang dimaksud dengan kapal putih ini ialah kapal setengah marinir seperti FOLMAHOUT, ALBATROS. RHUMPHIUS dan entah apa lagi. Kapal2 putih inilah yang setiap bulan (sebulan sekali) bergantian datang ke Tanah Merah Digul mengangkut bahan pangan.
Setelah motorboat merapat ke kapal perang itu tangga diturunkan dan penumpang motorboat yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak dinaikkan ke geladak Kruiser Java. Dapat dibayangkan betapa sulitnya ibu2 yang berkain panjang itu menaiki tangga kapal. Tetapi marinir2 Belanda totok itu dengan tangkas menggendong ibu-ibu dan anak2 menaiki tangga dan naik ke geladak kapal. Marini-marinir itu berlaku sangat baik dan ramah walaupun tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Kemudian ibu2 dan anak2 ini ditempatkan di ruangan yang cukup besar berlantai marmer. Dan tak lama kemudian dihidangkan makanan dan minuman air susu coklat. Makanan yang dihidangkan cukup baik yaitu makanan yang diperuntukkan para marinir dan tentu saja jauh berbeda dengan makankan tapol di RTC-SALEMBA atau Pulau Buru.
Kapal pun mulai berlayar dan itu terjadi pada tanggal 12 Maret 1927.
Dalam pelayaran itu ibuku dan teman2nya tidak ada yang mabuk laut karena kapal yang dinaiki cukup besar dan tidak terombang ambing gelombong.
Di ruangan kapal itu sangat panas mungkin karena ruangan itu berada di dekat kamar mesin.
Bagaimana ibuku tidur? Tentu saja tidur bergeletakan di lantai kapal yang bersih. Dan tentu saja dengan leluasa pergi ke kamar kecil (wc) untuk membuang hajat tidak seperti kapal yang dinaiki tapol waktu dikirim ke pulau Buru.
Ya, kata ibuku pelayanan di kapal perang itu jauh lebih baik kalau dibandingkan dengan kapal penumpang dek di KPM.
Ibuku diwaktu kecil sering berlayar mengikuti kakekku dan bahkan pernah ke Pulau Lombok ke kota Praya. Kakekku ayah ibuku (Kiyahi Hasan Wirogo) dalam melakukan siar agama pergi kemana-mana dan yang terakhir ke daerah Lampung-Sumatra dan hilang lenyap tidak diketemukan jasadnya di Sungai Mesuji atau Sungai Tulang Bawang, Lampung. Konon ceritanya kakekku yang sangat mahir berenang itu menyeberangi sungai Tulang Bawang dengan berenang dan terbawa arus sungai yang deras.
Dalam pelayaran itu ibu-ibu itu mendapat sabun cuci dan sabun mandi tetapi bagaimana mandi dengan air di keran-keran kapal yang airnya air laut dan asin itu? Untuk ibu2 itu setiap orang hanya mendapat air tawar satu wastafel. Sebenarnya untuk marinir yang orang Belanda itu, Satu wastafel sudah cukup untuk membersihkan diri, tapi bagi ibu2 yang belum pernah berlayar yang tidak biasa menghemat pemakaian air tentu saja terasa sangat jauh dari mencukupi, apalagi untuk mencuci. Dengan air laut yang asin tentu saja memakai sabun yang sangat baik pun tidak akan berbusa.
Ibuku dengan memakai air tawar seperlunya dan kemudian dibilas dengar air keran yang dari air laut bisa mencuci bersih dan sabunnya bisa bekerja aktif. Pengetahuan sederhana ini diajarkan kepada teman2 ibu-ibu lainnya.
Dalam pelayaran itu ibuku tidak membawa peralatan sembahyang tetapi ibuku tetap melakukan sembahyang menurut apa adanya apalagi di ruangan itu tidak ada kaum pria kecuali ibu-ibu dan anak-anak.
Ya, ibuku yang sejak kecil hidup di pondok pesantren itu sangat taat menunaikan ibadahnya sehingga waktu yang sedikit saja terluang pasti digunakannya untuk berzikir. Ibuku memang orang yang sangat sabar, tidak pernah marah dan selalu bersikap halus dan ramah kepada siapa saja. Aku merasakan sejak kecil hingga dewasa belum pernah aku dimarahi atau dibentak oleh ibuku ataupun ayahku. Ayahku dan ibuku benar2 orang yang memegang teguh ajaran alqur’an bukan hanya dalam kata2 tetapi juga dalam perbuatannya sehari-hari. Aku sungguh iri dan ingin menirunya tetapi aku yang pemarah ini masih juga belum berhasil mengendalikan diri seperti ibu dan ayahku. Terkadang aku malu sendiri, mengapa sebagai anaknya bapak dan ibu Ramidjo tak bisa meniru mereka.

Pada tanggal 18 Maret 1927 yaitu enam hari setelah berlayar, KRUISER JAVA melego jangkarnya untuk berlabuh di tengah laut. Rupanya kapal perang itu sudah sampai di laut Banda. Ibu-ibu diperintahkan untuk berpakaian rapi dan kemudian naik ke geladak kapal. Rupanya di geladak telah menunggu para suami ibu-ibu itu. Sungguh suatu pertemuan keluarga yang penuh gembira dan mengharukan. Abangku Darsono dan kakakku Darsini segera menghamnbur memeluk ayahku dan minta gendong. Dan aku sendiri? Tentu saja aku belum bisa apa-apa dan hanya didekap erat ibuku yang mulutnya komat-kamit memuji Allah yang maha besar dengan ucapan Subhannallah, alhamdulillah, walaillahaillallahuallahuakbar tak henti-hentinya. Ya, di dalam suka dan duka ibuku memang tak pernah lupa kepada Allah dan ketika ibuku menghembuskan nafasnya yang terakhir pun masih memegang erat tasbih yang selalu berada di tangannya. Ya, kukira jarang sekali mendapatkan seorang muslim seperti ibuku yang tak pernah mengeluh, berbohong dan marah dan berserah dirinya kepada Allah benar-benar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Yang sangat mengharukan menurut cerita ibuku adalah pertemuan oom Ali yang juga dari Semarang dengan isterinya. Oom Ali dan isterinya ini adalah pemuda-pemudi pengantin baru yang belum genap seminggu menikah.
Kepada mereka yang sudah berada di geladak kapal itu dibagikan kapas. Untuk apa kapas itu. O, rupanya untuk penyumbat telinga sebab marinir2 itu akan mengadakan latihan tembak.
Sasaran tembak yang menyerupai perahu layar diturunkan dari kapal perang dan kemudian ditarik dengan motorboat pada jarak yang sangat jauh. Motorboat kembali ke kapal perang dan sasaran tembak yang berada sangat jauh itu layarnya di tembak dengan meriam. Latihan tembak itu berlangsung dari jam 4 sore sampai jam 8 malam dan ketika hari mulai gelap sasaran tembak itu disorot dengan cahya senter jarak jauh yang sangat terang.
Astagfirullah gumam ibuku berulang-ulang, mengapa kafir-kafir ini melakukan pekerjaan yang merugi. Bukankah daripada untuk membeli peluru meriam lebih baik uangnya dibagikan kepada fakir miskin atau untuk membangun fabrik2 supaya semua orang bisa bekerja dan mendapat nafkah untuk hidupnya? Dasar kafir tidak tahu arti hidup dan kerjanya hanya merusak. Ibuku menitikkan airmata.
“Bu Ramidjo, mengapa menangis? Bukankah tontonan ini sangat mengasyikkan?” Tanya seorang ibu di sebelah ibuku.
“Maaf, saya sedih mengapa kafir-kafir itu menghambur2kan uang. Bukankankah rakyat kita banyak yang menderita? Bukankah daripada untuk beli peluru meriam uangnya lebih baik untuk mengenyangkan perut rakyat? Kita memang harus mengusir kafir2 itu dari bumi tanah air kita. Saya tidak suka meriam yang gunanya hanya untuk membunuh dan merusak. Buat apa bunuh-membunuh sesama umat manusia. Astagfirullah…….”, jawab ibuku.
“Sabar zus, kita ini jadi orang buangan dan pengalaman apa lagi yang kita temui nanti.” Kata ibu itu.
Setelah jam 8 malam latihan tembak itu berhenti dan ibu-ibu Dan anak2 kembali ke ruangan semula. Para bapak2 juga kembali ke tempatnya semula, jadi mereka terpisah lagi dengan keluarganya.
Latihan perang2an itu berlangsung 2 malam yaitu tanggal 18 dan 19 Maret 1927 dan kemudian meneruskan pelayarannya.
Pada tanggal 20 Maret 1927 jam 8 pagi Kruiser Java berhenti dan berlabuh menurunkan jangkarnya di dekat pulau Friderik Hendrik.
Dan pada jam 9 pagi luitenant Dreyher yang datang dengan kapal putih Fomalhout naik ke Kruiser Java untuk menerima orang2 buangan yang kemudian jam 2 siang dipindahkan ke kapal Fomalhout meneruskan pelayaran ke Tanah Merah Boven Digul.
Tiga hari tiga malam dengan menaiki kapal Fomalhout berlayar di sungai yang lebar dan dalam sungai Digul dan akhirnya pada tanggal 23 Maret 1927 jam 10 pagi kapal berlabuh di tepian sebelah timur Sungai Digul di kota kecil yang belum menjadi kota tapi masih hutan belantara, Tanah Merah.

Setelah sampai di Tanah Merah rombongan interniran itu naik ke darat tepian sungai Digul sebelah timur. Di tempat itu sudah berdiri 12 atau 13 barak. Barak2 itu sudah ada yang berisi rombongn interniran pertama yaitu rombongan pak Ali Archam, Budi Soetjitro dkk.
Keluarga ibuku dan teman2nya ditempatkan di barak nomor 5. Barak itu beratap rumbia dan dindingnya perlak militer berwarna hijau yang hanya digantungkan saja dan berkibar2 kalau ditiup angin. Siang hari tetapi nyamuk dan agas banyak sekali dan nyamuk2 ini langsung menyambut megucapkan terima kasih dan selamat datang dengan gigitannya yang cukup gatal.
Kepada setiap orang dibagikan kelambu militer. Kelambu2 itu terbuat dari kain paris ti[pis tetapi cukup kuat tetapi kelambu itu kelambu kecil untuk satu orang. Keluarga ibuku mendapat empat kelambu dan oleh ibuku kelambu itu didedel dan dijahit menjadi satu kelambu besar sehingga kami sekeluarga bisa tidur dalam satu kelambu.
Bagaimana lantai barak itu? Tentu saja lantainya tanah yang masih lembab karena tempat itu adalah daerah rawa. Kayu-kayu gelundungan yang besarnya lebih besar dari pohon kelapa, itulah yang dijadikan pangkeng tempat tidur.
Jadi para interniran itu tidur di atas pangkeng kayu2 gelundungan. Yang membawa tikar atau kasur bisa menggelarnya di atas pangkeng kayu2 gelundungan itu, tetapi keluarga ibuku yang tidak sempat membawa apa2 terpaksa meminjam kain panjang kepada teman2 untuk alas tidur. Dapat dibayangkan betapa sakitnya punggung yang tidur di atas kayu gelundungan itu.
Barak itu sangat panjang kira2 50 meter dan para keluarga buangan itu membagi kaveling pangkeng tempat tidur kayu gelundungan itu dengan menggantungkan kain panjang atau kain apa saja sebagai batas tempat tidur keluarga masing2. Karena tidak ada dinding dan hanya berbataskan kain panjang maka anak2 bisa saja bludusan ke kaveling keluarga orang lain.
Di bawah pangkeng kayu2 gelundungan itu tentu saja penuh dengan serangngga macam2. Ada jengkerik, kelabang, kalajengking dan mungkin juga ular dan ular yang sangat berbisa di Tanah Merah adalah ular kaki empat yang mirip kadal warnanya hitam kecoklat2an dan kepalanya berbentuk segitiga.
Pernah tetangga kaveling ibuku yang anaknya namanya Pandji di pagi hari ketika bangun rambutnya tidak karuan kepalanya menjadi setengah gundul karena di malam hari rambutnya dikerikiti jangkerik.
Para interniran (orang buangan) sebulan lamanya membersihkan sekeliling barak, membakari pohon-pohon dan ranting-ranting bekas tebangan dan bagi interniran yang tidak terbiasa bekerja kasar tentu saja merupakan siksaan yang luar biasa.
Di suatu hari di pagi hari setelah bangun kakakku Darsini bermain dengan teman2nya di halaman barak. Ada unggukan abu bekas membakar dahan dan ranting2 pohon. Kakakku yang baru berumur 4 tahun itu bermain lari-larianan dan menginjak gundukan abu yang rupanya dibawah abu yang putih itu bara apinya masih menyala. Kedua kaki kakakku Darsini terbakar bara menyala. Untunglah ayahku sangat telaten. Setiap hari kaki kakakku yang dua2nya terbakar itu dijilati ayahku dan diobati dengan minyak bulus (kura-kura) dan untuk memisahkan jari-jari kaki yang lonyoh itu dibelek dengan silet setiap hari. Aku tak dapat membayangkan betapa sakitnya dan betapa pedihnya perasaan hati ayah ibuku mengalami derita itu. Untunglah ayah dan ibuku orang yang sejak kecil belajar di pesantren dan jiwanya sangat teguh dan tidak pernah lupa memuji kebesaran Allah.
Bagaimana dengan makanan orang buangan?
Apakah mereka terus menerus tinggal di barak?
Bagaimana menjadikan Tanah Merah perkampumgan yang sangat teratur?
Setiap orang mendapat onderstand f.12,60 s/d tahun 1929?
Bagaimana pengaruh krisis ekonomi (malaise) di tahun-tahun itu?
Masih banyak lagi cerita2 ibuku yang perlu kuceritakan kembali dan kutulis.
Sudah banyak buku-buku tentang Digul tapi juga ada yang ceritanya berlebihan, menggambarkan seakan-akan orang buangan ditempatkan di kelder-kelder dan kamp tahanan berpagar kawat berduri dan lain-lain yang sangat menyeramkan.
Tidak. Digul tidak seperti itu. Tidak ada pagar kawat berduri. Tidak ada penjagaan ketat seperti tahanan orba pulau Buru. Tidak ada penjara. Belanda tidak sekejam Suharto dan masih punya rasa peri kemanusiaan.
Aku yang sejak bayi sampai umur 14 tahun tinggal di Tanah Merah Digul masih bisa bercerita apa adanya menurut kacamata anak2.
Cerita ibuku akan kulanjutkan kalau kesehatanku membaik. Aku akan tulis apa yang masih kuingat walaupun orang sudah tidak mau lagi mendengar tentang Digul sebab Digul menurut orba memang tidak ada. Menurut orba kemerdekaan negeri ini datang bukan karena perjuangan. Menurut orba Suharto tidak diperjuangkan pun kemerdekaan itu akan datang, Apa benar begitu, ya?
Selamat tidur dan terimakasih kepada teman yang mau buang waktu membaca tulisan ini.
Sekian dulu.

Tangerang, Senin Pahing 26 Maret 2007.
------------------------------------------------------